Cerpen Mini (Cermin), (98) ‘Asmara Berkabut Merah’

TEPAT pukul 11.15 Wib, pesawat yang ditumpangi Mat Kilau, Sita dan Panglima Hitam mendarat mulus di landasan bandara Soekarno Hatta. Dari bandara staf Kilau menjemput. Mereka menuju jalan Pesanggrahan, Jakarta Barat, Kilau menyuruh driver ke sebuah rumah makan di ruko berlantai empat dengan plang nama “Medan Baru”. Restorannya didominasi warna abu-abu dan hitam.

Meliihat nama “Medan Baru”, Panglima Hitam mengira hidangan yang disajikan ala Medan. Ternyata bukan tetapi perpaduan restoran Minang dan Melayu Sumatera Utara.
Wadah-wadah lauk diletakkan paling depan di balik jendela kaca.
Hidangan istimewanya gulai kepala ikan. Tersedia ukuran kecil, sedang dan besar.
Di samping itu ada menu burung punai goreng.
Ketiga orang itu, anak tanah melayu, berkeringat melahap nikmat hidangan yang tersedia. Sita yang biasanya murung, kini ceria seperti matahari pagi di perkebunan teh.

Bacaan Lainnya

Seusai makan siang mereka meluncur ke tanah Pasundan, Bandung, ke rumah Mat Kilau di Ujung Berung, tak jauh dari rumah Tengku Tora di Antapani.

Tak berapa lama keluar dari restoran “Medan Baru”, mereka bertiga tertidur pulas. Memasuki tol jagorawi di daerah Purwakarta, Panglima Hitam memohon driver memberhentikan kenderaan di daerah yang ada mesjidnya. Ia ingin menunaikan shalat Ashar. Sebuah mesjid yang sederhana di seputaran Purwakarta, mobil memasuki areal mesjid tersebut. Panglima Hitam mengguncang-guncang tubuh Mat Kilau mengajaknya shalat. Mat Kilau segera mengikuti langkah Panglima Hitam. Sementara Sita menunggu di Mobil, bulan merah sedang menghampirinya.

Seusai shalat, Kilau dan Panglima Hitam segera melangkah ke Mobil. Beberapa langkah ke luar dar mesjid, Kilau bertanya pada Panglima Hitam, “tok, kenapa Sita bersikeras hendak ikut kita ke Bandung tanpa pamit dengan Tualang?”
Panglima Hitam hanya mengangkat bahunya, sebuah isyarat ia pun tak tahu.
“Kata Tora Sita itu orang yang penurut, penyayang, tapi bila ia tersinggung susah mengembalikan sifat aslinya”, kata Kilau lagi.
“Dan ia sangat mahir menyembunyikan amarah, kesal dan sakit hatinya”, Panglima Hita menimpali.

Di mobil, Kilau dan Panglima Hitam tak mengusik Sita sedikit pun. “Ada waktu yang tepat, mengorek alasan Sita tak mengacuhkan Tualang yang sangat mencintainya. Bahkan rencana perkawinan pun sudah disampaikan Tualang pada orang tuanya. Dan malah Sita pun mengiyakan rencana tersebut di hadapan calon mertuanya.

Mobil yang membawa mereka ke Bandung memperlambat lajunya. Hujan turun dengan lebatnya, petir menyalak tajam.
Jalan raya melicin. Sita berkali-kali menutup kupingnya, menahan suara petir dalam perjalanan menuju Bandung. Ia duduk berdampingan dengan Mat Kilau. Berkali-kali pula ia mendekap tubuh Kilau seakan meminta perlindungan.
Darah Kilau berdesir, tubuh Sita yang harum dan lembut nyaris merubuh imannya. Cepat dia beristigfar dan Sita melepaskan dekapannya. Ia tersipu malu ketika Kilau menatapnya dengan pandangan yang amat pesona.

“Maaf bang Kilau”, kata Sita.
“Tak ada yang salah Sita.”
Secara refleks, Panglima Hitam melihat ke belakang, “jaga jarak satu meter kilau.”
Kilau tersenyum.
Sita tersipu.

Di lain tempat, Tualang pusing tujuh keliling, Sita sudah tiga hari hilang dalam pandangannya.
Sudah litak dia mencari ke sana ke mari, bahkan ia sudah ke Sukaraja, jejak Sita tak berbekas.

Ia mencoba bertanya pada Tora karena dia tahu hubungan emosional mereka sangat dekat.
Tora menganggap Sita itu sudah seperti anaknya. Dan Sita pada Toralah ia bermanja bila ayahnya pergi merantau.

Saat Tualang tiba di rumah Tora, Tora dan Marissa sudah berkemas hendak balik ke Pasundan.
“Apa cerita Tualang, mukamu begitu kusut seperti orang kalah judi. Mari duduk kejap, mumpung masih ada waktu satu jam lagi aku ke bandara”, kata Tora.

“Aku tak punya banyak teman untuk mencari Sita. Sudah 4 hari hingga hari ini ia menghilang, mungkin kau bisa memberi suluh dalam gelapku”, kata Tan Tualang dengan suara serak.

“Kami pernah kehilangan Sita lebih lama dari yang kau rasakan. Jika saat ini kau kehilangan ia, itu hanya permainan takdir. Tak usah kau sesali, kalau kau berjodoh, ia pasti kau temukan”, kata Tora.

Tualang terdiam. Ucapan Tora bagai godam menghantam kepalanya.
“Kalau tak ada berada, takkan tempua bersarang rendah”, kata Tora lagi.

“Rasanya tak ada kesalahan yang kuperbuat padanya. Tiba-tiba saja ia hilang seperti ditelan bumi”, kata Tualang.
“Kau tak bersalah mungkin tetapi bisa saja ia mendengar keluargamu tak menyetujuinya kau persunting.

Tualang terhenyak dalam. Ia teringat saat ibunya ingin menjodohkannya dengan anak kampung sebelah, yang lama bermukim di Jakarta. Apakah ini didengar Sita? Dari siapa ia mendengarnya? Pikiran Tualang semakin kalut.
Tora dan Marissa pamit, Tualang hanya mampu berdiri tegak melambai lemah.
Kenderaan yang membawa Tora bergerak pelan, da melaju ketika melewat pagar.
Tualang melangkah lunglai menuju rumah ayahnya di Limau Sundai.

(*)

Medan, 190920, tsi taura.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *