Cerita Mini (Cermin), (97) ‘Di Sini Cinta Berlabuh’

HINGGA terbit matahari pagi, Tualang belum juga menemukan Sita.
Pikirannya semakin resah. Ia mencoba menemukan Mat Kilau dan datuk Panglima Hitam, usahanya sia-sia, dua lelaki yang menyayang itu tak ia temukan dan tak berkabar kemana perginya.
Lelah jiwanya, ia tertidur pulas di rumah ayahnya Tengku Jurung di Limau Sundai Binjai.

Tengku Sita baru yakin seyakin-yakinnya ketika Panglima Hitam dan Mat Kilau menjelajahi Sukaraja Bohorok. Kuburan ayahnya sudah rata dengan tanah.

Bacaan Lainnya

Orang kampung itu sempat heboh ketika kerabat terdekat dan murid-murid alm Tengku Ulung Alas hendak berziarah ke makamnya. Mereka menduga jasad alm Ulung Alas telah dicuri untuk memenuhi syarat Ilmu yang hendak dituntutnya. Berita itu terdengar sampai ke Bohorok.

Hal itu didengar Tualang, Panglima Hitam dan Sita ketika mereka singgah di kedai nasi emak Sri Maharani. Emak Sri, tengku Balqis mengenal Sita dan Mat Kilau, ia mengajak menginap ketiganya di rumahnya.

Saat itu mereka pengunjung terakhir di kedai tersebut. Senja mulai luruh.
Mereka tak dapat menolak ajakan emak Sri. Ia sangat menyayangi Sita yang santun, lembut bertutur dan selalu tersenyum dengan lesung pipit yang mempesona.

Balqis teringat masa kecil Sita. Saat itu mereka bertetangga di Sukaraja.
Usia 6 tahun ia masih dimandikan emaknya di aliran sungai Wampu. Menyisir rambut dan mentaucangnya, rambut panjang yang dikepang. Kemudian mukanya disapu bedak cap nyonya yang harum. Jika malam mukanya dipupur bedak dingin, hingga mukanya bagai telur dikupas.

Sementara ayahnya alm Tengku Ulung Alas adalah pelaut yang handal. Masa mudanya, masa awal pernikahannya dia masih di laut sebagai kepala lanun yang sangat disegani kawan dan lawan. Salah seorang regenerasinya ada Tan Tualang. Tualang cepat bertobat karena berkawan akrab dengan Tora, dari Tora pula, anaknya Sri Maharani mengenal akrab Tan Tualang.

(Balqis tersentak saat Panglima Hitam menyapanya), “Balqis, apakah sampai saat ini hilangnya makam alm Ulung Alas masih menjadi buah bibir masyarakat Bohorok dan Sukaraja”, tanya Panglima Hitam.
“Tidak lagi datuk, sudah senyap.”
“Syukurlah…”
“Kalau boleh saya tahu apa sebenarnya yang terjadi Datuk?”, tanya Balqis.
Datuk Panglima Hitam tersenyum, tersisa ketampanannya yang memudar karena usianya. Senyumnya sungguh menawan, membuat lawan jenisnya pandang tak jemu.

“Nanti engkau tanya saja dengan Sita….”, kata Datuk Panglima Hitam. Balqis memandang Panglima Hitam yang beda usia dengannya sepuluh tahun, dengan hati berdebar, bagai ombak yang mengayun perahu tua.

Mereka saling menatap, Panglima Hitam yang selama ini hilang gairah pada perempuan, tiba-tiba menyulut percikan api. Begitu pula, Balqis janda 50-an menyala pula gairahnya.
Sita dan Kilau saling memandang. Kilau memainkan mata yang dimaklumi Sita maknanya.
Mereka hendak turun ke bawah, langkah tersendat, Panglima Hitam menutur, “jangan tinggalkan kami berdua di sini, sumbang kelihatannya.

Kilau becanda, “tak elok datuk mengganggu orang lagi kasmaran, iya kan Sita?”,
Merah saga muka Tengku Balqis, Panglima Hitam biasa saja. Dia memandang Balqis dengan mata berbinar. Balqis tersipu malu, seperti bulan menutup mukanya dengan gumpalan awan putih.

Sita menempali, “cocok hati ke tuan kadhi.”
Ucapan itu membuat mereka tergelak bersama. Malam semakin larut, terpulas mereka dalam lelah yang panjang.

Di sini terpulas, di Limau Sundai mendung. Tan Tualang mengimbah kampung-kampung di Binjai, mencari Sita, tak jua ketemu.
“Ada yang tak beres ini”, pikirnya.
Ia berniat ke Sukaraja mana tahu Sita rindu kampung halamannya.

Saat ia hendak melangkah, Kilau sudah di Bandara menuju Jakarta bersama Sita dan Panglima Hitam. Kepada Balqis Mat Kilau berpesan, pada siapapun jangan diberitahu, tentang mereka menginap di rumah Balqis. Balqis mengangguk. Kilau tahu betul bahwa Balqis seorang yang amanah.

Ketika hendak melangkah, Kilau berbisik pada Balqis, “cinta telah menemukan pelabuhannya, Panglima Hitam tak kan membuat kakanda bertepuk sebelah tangan.”
Balqis mencubit geram perut Mat Kilau.
Panglima hitam beberapa langkah berjalan, memandang ke belakang. Balqis tersenyum, Panglima Hitam melepaskan busur panah asmaranya. (***)

Medan, 180920,

tsi taura.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *