Cerita Mini (Cermin), (99) ‘Asmara Berkabut Merah – 2’

MENJELANG PETANG, Penglima Hitam, Sita dan Kilau tiba tepat di pintu pagar rumah Mat Kilau. Di sisi kiri dan kanan rumah tersebut kelihatan kolam yang bersih, udara yang segar. Angin bertiup lemah. Rumah bertingkat dua minimalis. Di belakang rumah kelihatan gunung berkabut tipis. Suara burung di ranting pohon berkicau merdu, seakan menyambut tamunya nun jauh dari tanah melayu.

Tempat tinggal Kilau itu di kecamatan Ujung Berung, Bandung.
Daerah itu merupakan leher botol di kota Bandung, jika kita akan keluar kabupaten Bandung, khususnya keluar kabupaten di arah timur Bandung.
Ujung Berung dikenal sebagai kecamatan yang memiliki banyak pesantren dan pemandangan indah. Kini merupakan kampung kawasan padat. Di kiri-kanan tumbuh pohon-pohon yang kokoh berdaun rindang.
Tetapi tempat tinggal Kilau di bawah bukit yang indah panoramanya.

Bacaan Lainnya

Dua hari di rumah Kilau, Sita merasa sunyi. Panglima hitam terus keluar rumah menelusuri pesantren-pesantren. Ia terkagum-kagum keramahan guru-guru di pesantren. Berilmu tinggi tetapi berilmu padi.

Kilau pagi-pagi sudah berangkat tugas sebagai aparat penegak hukum di bidang penuntutan. Sedang istrinya, Paulina tak pernah kelihatan di rumah itu. “Ach, kenapa aku selalu disuguhkan hal-hal yang tak jelas dalam hidupku. Hidup yang penuh misteri di hadapanku”, Sita bicara pada dirinya sendiri.

Sita mengunci rumah dan ia dengan pakaian kaos hitam yang ketat, celana blue jean kumal mengitari kota Bandung. Dengan mobil online ia berhenti di daerah Braga. Berjalan kaki mengitari trotoar yang penuh lukisan terpampang di ruko yang tutup.

Tak seorang pun yang dikenalnya dan tak seorang pun yang menyapanya. Senja mulai jatuh, ia berada di Asia Afrika, memandang takjub para pegiat seni. Ada yang menjadi kuntilanak, ada berwajah hantu bergaun hitam. Banyak pengunjung berfoto bareng dengan para pegiat seni itu.
Sita tersenyum, sekali-sekali bulu kuduknya bergidik juga.

Bayangan Tan Tualang singgah juga di ke rumunan giat seni itu. Sita terbayang bagaimana beraninya Tualang memasuki hutan angker di Sukaraja. Menjaga Sita tiap langkah di daerah yang menyeramkan. Rintik hujan tengah malam membawa mereka ke muka jalan tikus melebar ke jalan kampung yang sepi. Lamunan itu buyar saat hantu pocong mainan menyentuh bahunya. Ia nyaris berteriak, membalik tubuh dan sadar itu hanya pocong-pocongan.
Untuk tidak mengecewakan pegiat seni jalanan itu, ia berfoto dengan pocong dan membayarnya.

Mat Kilau dan Panglima Hitam telah tiba di rumah saat pelangi menancap di kolam.
Hati mereka mulai gaduh. Sita belum juga tiba di rumah, mereka menduga Sita tersesat, atau jangan-jangan Tan Tualang menemukannya dan memaksa kembali ke Binjai, kota rambutan itu.
“Tak semudah itu memaksa Sita, Kilau”, kata Panglima Hitam.

Hampir pukul 21.00 Wib, Sita mengetuk pintu rumah Kilau.
Pintu terbuka, Sita langsung duduk berdekatan dengan Panglima Hitam. Ia melempar senyum seakan tak terjadi apa-apa.
“Dari mana saja engkau, baru pulang begini malam”, tanya Kilau.
“Menikmati malam di kota kembang”, jawab Sita dengan enteng.
Panglima Hitam tergelak, melihat Kilau seperti kehilangan akal mengajukan pertanyaan berikutnya.

Sita pamit ke kamar mandi, menyegar tubuhnya yang lelah. Kilau terpelongo. Panglima Hitam tenang-tenang saja.
Selesai shalat Isya, Sita gabung lagi di ruang tengah, berbincang dengan dua lelaki yang tak asing lagi baginya.

Tiba-tiba Sita menutur, “bang Kilau, mana istri abang?”
Kilau menatap sendu ke bola mata Sita.
Kemudian pandangannya beralih ke wajah Panglima Hitam, seakan mengisyaratkan apakah pertanyaan Sita perlu dijawab.
Panglima Hitam menggeleng.

Sita menguap berkali-kali, matanya sayu, kantuk tak terlawannya lagi. Ia dengan langkah hati-hati menuju biliknya. Menghempaskan tubuhnya di katil yang empuk.

“Jika esok Sita bertanya lagi tentang Paulina, apa yang saya lakukan datuk?”
“Engkau tahu jawabannya kenapa mesti risih kalau bersih?”, kata Panglima Hitam.

Kilau tertunduk, sesungguhnya ia tak tahu apa yang harus dikatakannya bila Sita bertanya lagi.
“Oh, hari esok berkabut merah, kenapa aku tak sunyi dari masalah. Inikah karma yg harus kuterima karena pernah menyia-nyiakan Sonya, datuk?”, tanya Kilau pada Panglima Hitam.
Panglima Hitam tak ingin menambah beban pikiran Kilau, ia mengajak Kilau untuk tidur.”

Kilau menuruti ajakan Panglima Hitam. Semalam ia tak bisa tidur.
Menjelang subuh ia bersikap, tak perlu ia menyembunyikan sesuatu pada Sita yang jujur, yang hidupnya penuh misteri. “Esok akan kujelaskan padanya, sebelum ia menusuk pertanyaan serupa.
Lalu dari mana aku memulainya?”, tanya Kilau pada dirinya sendiri.

Di lain tempat, Tan Tualang dengan terpaksa menyetujui saran orang tuanya. Ia lelah menunggu Sita. Ia paham betul sebuah nasihat jika tak menuruti kemauan orang tua, “kalau tak patah jingkat.” (***)

Kualanamu, 200920,

tsi taura.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *