Karya Ayub Badrin
Sejak itu, habislah segala malam yang kita punya. Berganti menjadi syair kerapuhan disecangkir kopi porselin. Aku mengenalmu seperti ombak tetapi juga angin dan gunung. Tetapi burung apa yang terus berkicau sepanjang subuh itu.
Tuan, tuan adalah kesejukan yang membuat dunia tak berhenti bersyukur. Menulis tatto pada ringkih tubuh yang putih. Itu puisi terindah yang pernah aku saksikan. Entah dari mana saja tuan selama ini.
Runtuh segala mantra menjadi satu dengan derap suara orang memukul-mukul tubuhnya sendiri. Seperti kau tuan, aku juga Melayu. Ayo mari terus menari serampang duabelas. Ketipak-ketipak tipong, suara gendang bertalu-talu. Siapa yang telah menekan arkodion itu. Sehingga tuan pulang lebih dulu.
Sementara aku masih ingin menari sampai segala suara kembali pada fitrahnya. Pada yang empunya nasib dan takdir ini. Aku tuan, bukan sehelai yang mengerti arah angin. Lebih kepada seonggok debu yang suka mengganggu hidungmu. Terkadang membuat mu bersin-bersin saja.
Kini tuan, aku pamit untuk meninggalkanmu sendiri. Merenung dalam waktu yang koyak moyak. Mungkin ada secangkir kopi yang kemarin dilarang dokter. Pasti tak akan membuat perutmu sakit lagi. Minumlah sesuka tuan. Kata mereka tuan orang baik. Bahkan sangat baik. Mari, kita teguk secangkir kopi lagi sambil kita baca kita punya puisi.
Medan, 13/3/21