Tan Tualang Dari Bohorok

Novel Eksekutor Dari Tanah Melayu

oleh Tatan Daniel

“Kampung yang dulu tempat Tualang merangkai impian, disentuhnya lagi. Simpang Keramat yang tak keramat lagi. Semua yang dulu kawannya bermain tak kelihatan lagi. Sungai-sungai penuh sampah dan limbah. Ayah dan emaknya telah lama pergi. Di eksekusi maut. Tanah Melayu penuh lumpur, Tualang tak menandainya lagi. Dia tersenyum getir”.

Bacaan Lainnya

Alinea terakhir yang suram. Saya pun menutup halaman 217, halaman terakhir novel bertajuk ‘Eksekutor dari Tanah Melayu’ itu. Sang tokoh, Tengku Tan Tualang, sang penegak hukum, akhirnya memilih pensiun muda. Pulang ke kampungnya. Dan kembali menjadi penyair.

Saya melanjukan ‘membaca’ novel itu dengan mengenangkan penulisnya, Tsi Taura, atau Tengku Suhaimi Idris, atau Mat Kilau, nama akun fesbuknya, yang membaca sajak di depan Sutardji Calzoum Bachri. Pada sebuah perhelatan menghormati sastrawan Damiri Mahmud yang saya hadiri di bulan Maret tahun lalu, yang ditaja oleh Komunitas Masyarakat Sastra Binjai (KOSAMBI), sebuah komunitas yang ia bidani dua tahun lalu.

Buku ‘Eksekutor dari Tanah Melayu’ menjadi menarik tatkala Taura (yang pernah di masa mudanya di tahun 1980-an sibuk menulis puisi, hingga memperoleh penghargaan sebagai penulis muda kreatif dari Dewan Kesenian Medan), dengan tanpa ragu ‘memblender’ fakta dan fiksi menjadi narasi yang mengalir deras. Ingatan dan imajinasinya bertautan sekenanya, menjadi sajian yang gurih.

Agaknya, Tsi Taura, yang telah membukukan delapan kumpulan puisi tunggal itu, mengambil resam pantun dalam tradisi sastra Melayu. Antara sampiran dan isi yang seakan berbeda, tapi diam-diam saling memaknai. Karena itu, di antara alur cerita, saya dengan mudah menemukan orang-orang yang terlibat dalam hidup Tualang, muncul di sana-sini dengan inisial, PW, HW, BA, HB, HK, FEW, SA, MR, atau DT. Orang-orang yang tak ingin penulis ungkapkan dengan gamblang.

tsi taura

Dengan demikian, ia terasa menjadi semacam novel otobiografis. Tentu tak ada yang aneh menulis novel berbahan pengalaman hidup sendiri. Charles Dickens, seratus lima puluh tahun lalu telah menulis novelnya yang masyhur, David Copperfield, yang disebut sebagai novel otobiografis.

Begitu pula dengan James Joyce dengan novelnya A Portrait of the Artist as a Young Man, Ernest Hemingway yang menulis A Farewell to Arms (1929). Mo Yan, penulis Cina, peraih hadiah Nobel Sastra tahun 2012 juga menulis novel otobiografi yang singkat, Di Bawah Bendera Merah.

Eksekutor dari Tanah Melayu memang tidak menuntun pembaca untuk menggapai klimaks. Hal yang lazim disyaratkan pada novel fiksi. Dengan membagi bukunya atas lima belas bab, penulis mendudukkan Tan Tualang sebagai tokoh protagonis yang setia mengikuti riwayat perjalanan profesional seorang Tengku Suhaimi Idris. Seakan nyaris tanpa menutup-nutupi kebenaran.

Mulai dari keberangkatan dengan kereta api malam untuk bertugas sebagai aparat Kejaksaan di Tanjung Balai, hingga mengakhiri tugas sebagai staf ahli Jaksa Agung. Sepertiga halaman buku bercerita tentang drama keluarga dan konflik yang terjadi, dua pertiga tentang ragam persoalan rumit yang dihadapi Tan Tualang sebagai jaksa, yang harus melakukan penuntutan dan mengeksekusi beberapa putusan pengadilan, yang beberapa terdakwanya harus dihukum mati.

Sebagai novel otobiografis, tentu saja, beberapa nama dan tempat mungkin sudah diubah, dan beberapa momen dikemas dengan bumbu metafora, bisa jadi dilebih-lebihkan, atau diubah oleh Taura demi memenuhi tuntutan tematik atau artistik. Upaya yang sah, sepanjang alur cerita masih mencerminkan peristiwa dalam hidup penulis. Di sisi lain, saya pun tak patut menuntut lebih, menuntut riwayat lengkap seorang Taura sepanjang usianya yang enam puluh tahun, karena yang ditulis jelas bukanlah memoar.

Proses persidangan, perburuan, dan eksekusi terhadap Datuk Kelana sang koruptor, atau nasib buruk Anik Qoriah si pembunuh tiga anak, kebengisan Mat Kelewang si tukang jagal 42 perempuan, dengan latar ‘behind the scene’, menjadi seru lewat narasi Taura, yang mantan jaksa. Begitu pula tentang Mahmud Badaruddin si gembong narkotika, atau selingan jenaka soal intel pematang lumut, playboy cap Kalpanax, Taliban jangkung, intrik politik kedinasan, uang siluman, atau drama keluarga berlatar adat budaya Melayu.

Bila momen sunyi dan percakapan batin Tan Tualang, berhadapan dengan bermacam ‘pertempuran’ dakhsyat yang menuntut nyali besar itu bisa diungkap lebih intens, lebih menukik dalam, agaknya cerita akan lebih berlemak, macam gulai kepala kakap dengan lalap petai dan sambal belacan Pulau Kampai. Sesungguhnya, saya mencari gelegak pergulatan batin anak Melayu di bilik meditasi yang sunyi, dengan pertanyaan-pertanyaan yang bergema, dan menggedor-gedor, seperti larik puisi-puisi Taura yang pekat rasa Melayu-nya itu.


Setelah zaman roman picisan, dari Medan memang tak banyak lagi novel dituliskan dan diterbitkan. Yang meriah bermunculan adalah para penyair, dengan puisi bertebaran di berbagai media lokal dan nasional. Taura dengan Eksekutor dari Tanah Melayu-nya, saya pikir, tak sekedar menulis novel, tapi juga memantik semangat kreatif, memicu gerakan para sastrawan di Medan dan Sumatera Utara untuk menulis novel. Katakanlah, semacam mengulang sejarah.

Medan, yang mayoritas penduduknya etnis Jawa itu, serta ruang hidup di sekitarnya adalah ‘melting pot’ budaya yang amat kaya. Jika berhasrat menyusuri terowongan kelam sejarah, ada banyak kisah hidup yang dakhsyat untuk dituliskan. Setting zaman kuli kontrak (Cina, India, dan Jawa), misalnya, atau kisah jurnalis di keriuhan penerbitan surat kabar di masa Pewarta Deli, atau ‘revolusi sosial’ berlumur darah yang meluluh-lantakkan marwah orang Melayu, atau cerita-cerita gelap seperti yang didedahkan oleh Joshua Oppenheimer lewat film Jagal dan Senyap yang menggegerkan itu.

Melting pot etnis dan budaya itu juga menghasilkan bahan galian yang maknyus untuk dituliskan: khazanah kuliner, ketoprak dor yang ganjil, rombongan ludruk terakhir, atau tentang bandar internasional Barus yang kini sunyi sepi, revolusi di sekitar bangsal kereta api, atau riwayat kopi di Mandailing, nasib orangutan di Bohorok, kesenian ronggeng Melayu yang pernah jaya sampai ke Melaka dan pulau Anambas, atau tentang sosok tragis Willem Iskandar, Amir Hamzah, Chairil Anwar.

Atau mitologi dan sejarah ulos, dan rumah-rumah gorga yang ditinggalkan di sekitar danau Toba. Atau seniman musik tradisi Karo yang dikalahkan oleh sepotong mesin keyboard. Atau tentang bis ALS, Sibual-buali, dan para awaknya yang mengembara merayapi jalan raya, hutan rimba, harimau dan pembegal, warung remang, sunyi surau, di sepanjang jalur lintas Sumatera menuju pulau Jawa.

Semuanya khas Medan. Semuanya tak akan ditemukan di luar Medan. Harta karun yang sah, unik, kental, sangat berwarna, yang menunggu dibongkar. Mau dibikin jadi novel magis, realis, surealis, atau apa saja, terserah. Itu, sih, cuma soal teknis!

Itulah. Tatkala membaca novel “Eksekutor dari Tanah Melayu”, saya lantas teringat pada bermacam-macam hal. Menulis sebuah novel mungkin tak mudah. Namun, yang lebih sukar, menurut saya, adalah menemukan bahan peledak yang membuat kita kerasukan untuk meraciknya. Dan Taura, doktor ilmu hukum itu, penerima Anugerah Sastra dari Balai Bahasa Sumatera Utara (2019) atas produktivitas dan kepeduliannya pada perkembangan sastra di Sumatera Utara, telah memulainya. Saya mengangkat tabik dengan menjura yang dalam untuk daya kreatif beliau yang terus mendidih, menggelegak, tak henti. Seakan ‘jaksa penuntut’ yang menginterogasi kita ikhwal kesetiaan dan kesungguhan menulis.

Sehatlah terus, Tuan. Berhenti sejenak berkawan rokok. Kurangi pula menyeruput kopi. Dan terus menulis. “Publish or Perish!” Patik menunggu buku berikutnya! (***)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *