Cerpen Mini (Cermin) (82) ‘Hidup Baru (03)’

KETIKA Paulina tiba bersama Datuk Panglima Hitam di tempat hajatan, lagu sri mersing sedang mengalun, lagu itu selalu disuarakan penyanyi jiran, Siti Nurhaliza, perempuan bersuara emas. Ia mendapat tempat di telinga masyarakat melayu Indonesia, dari kota hingga ke pelosok-pelosok kampung yang tersudut dari keriuhan kota. Saat itu Paulina bergaun melayu, berselendang kuning emas seperti gaunnya. Dia seperti wajah perempuan melayu umumnya. Tak kelihatan wajah Manadonya.

Hadir juga dalam hajatan itu, perempuan yang ditemukan Tora di bawah rambung ketika melayat alm Tengku Ulung Alas. Luar biasa mempesonanya ia saat itu. Ia bagai putri Balqis yang tersohor itu.
Dan ia pula yang menjadi perias pengantin putri, dua putri yang ditakdirkan memiliki cahaya kecantikan yang patut mereka syukuri.

Bacaan Lainnya

“Kecantikan rupa tak membuatku bahagia”, kata perempuan itu suatu ketika pada Marissa.
“Aku justru menemukan kebahagiaan bertemu kakak, dalam perjalanan takdir yang tak pernah kubayangkan”, kata perempuan itu lagi pada Marissa.

Sri Bulan, putri manis yang terkena musibah banjir bandang di kampung Bukit dan kampung sebelah juga hadir. Seakan hajatan itu reuni para putri melayu yang turun dari istana.
Sri Bulan matanya meliar mencari-cari pemuda tampan, Raka sahabat abangnya Senjata Tarigan yang tewas dalam bencana itu.

Tengku Sita Maharani dan Raka Perdana yang tak kelihatan dalam hajatan tersebut. Mereka hilang seperti ditelan bumi.

Sonya dengan gaun melayu tenunan batubara, make up yang sederhana, memancar aura yang memandangnya, melantun Sri Mersing. Pembawa acara yang kocak menambah suasana begitu indah, awan mendungpun berlalu.

Sri mersing lagulah melayu
Dikarang oleh biduan dahulu
Sri mersing lagulah melayu
Dikarang oleh biduan dahulu
Hatiku runsing bertambah pilu
Mengenangkan nasib
Mengenangkan nasib
Yatimlah piatu

Hatiku rungsing bertambah pilu
Mengenangkan nasib
Yatimlah piatu…

Paula berdiri terpaku menyaksikan acting Sonya di pentas. Ia di dampingi Datuk Panglima Hitam, yang begitu ceria mendampingi Paulina. Bisik-bisikpun tak terbendung. “Wah, hebat datuk itu bisa mempersunting gadis cantik berlesung pipit”, kata salah seorang undangan. “Takutnya atok itu mati dipuncak”, kata yang lain. Gelak pun tak dapat dilerai.

Mata Paulina meliar berharap Kilau datang dengan kemenangan di Medan Perang. Penantiannya sia-sia. Dia menghibur diri, “jika hendak dipahami orang lain, kita harus memahami orang lain”, dia bicara pada dirinya sendiri.

Dengan kata-kata bijak itu, “aku bisa mengandaikan diriku, bagaimana kalau aku di posisi Mat Kilau, suamiku? Mungkin aku telah berlari sejauhnya, menghempas kekesalan.

Datuk Panglima Hitam menuntun Paulina ke ruang pengantin. Sonya tegak menyambut istri mantan suaminya itu. Mereka berpelukan haru. “Mana suamimu Paulina?, tanya Sonya.
“Tak semua pertanyaan harus dijawab. Ssmoga kau maklum Sonya.”
Sonya mengangguk. Paulina menyalami Tak Bima, “Selamat menempuh hidup baru”, kata Paulina mengurak sila. Di depan pintu, Paulima merangkul atok Kilau, mohon maaf dan pamit.

Menetes air mata Tengku Husein Petir. Tak dilihatnya Mat Kilau, cucu yang amat disayanginya. “Nasi telah menjadii bubur”, Tengku Husein Petir bergumam. (***)

Jkt, 300820,

tsi taura.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *