Cerpen, (103) Mini (Cermin) ‘Santau Pelalau’

SEUSAI shalat subuh di bawah tenda kuning, Tora dan datuk Panglima Hitam masuk ke dalam rumah hajatan.
Di ruang tengah, tengku Jurung duduk di kursi kayu sambil memegang tasbih.

Tora memberi salam, tengku Jurung berdiri menyambut kerabatnya dengan muka mendung.
“Jam berapa kalian sampai”, tanya tengku Jurung dengan cemas menunggu berita tentang keberadaan Tualang. “Apa hasil buruan kalian”, tanya tengku Jurung lagi ketika Datuk Panglima Hitam hendak bertutur.

Bacaan Lainnya

Cepat Tora menyambar rokok daun bertembakau tua di depan Panglima Hitam. Mulutnya terasa basi. Digulungnya, dilinting tembakau. Baunya menyengat. Dua tiga tarikan, tengku Jurung terbatuk-batuk diterpa asap rokok zaman revolusi itu.

Tora yang pencagil itu senyum-senyum saja.
Istri tengku Jurung muncul membawa baki berisi kopi kampung yang ditumbuk dalam lesung. Bukan main wanginya.
Tora mengangkat cawan kecil menyeruput kopi itu.
Kopi itu panas, lecuhlah lidahnya.

Tengku Jurung harap-harap cemas menunggu berita dari Panglima Hitam.
“Jurung, percayakah engkau pada takdir baik dan buruk itu datangnya dari Allah?”, Panglima Hitam membuka jurus kata.
Belum sempat, tengku Jurung menjawab, bininya muncul membawa sepiring pisang raja panas dan duduk di samping Tora.

“Kemana arah tanyamu itu? Aku ini sudah mengaji sifat dua puluh semenjak jepang masuk. Langsung sajalah, usah lagi dibumbui petitah-petitih”, kata tengku Jurung.
“Baiklah kalau begitu”, kata Panglima Hitam sambil menyeruput kopi yang sudah mendingin.

“Kami mendapat kabar, anakmu Tualang mendapat musibah, mobil yang ditumpanginya lima hari yang lalu kecelakaan di tol Cipularang, saat dia hendak ke Bandung menemui sahabatnya. Dia dirawat di rumah sakit Advent Bandung”, kata Panglima Hitam dengan tenang, seperti danau tak terembus angin.

Tengku Jurung dan bini serentak kaget, “bagaimana keadaannya”, tanya bini tengku Jurung.
“Hanya luka di kening, tangan dan kaki agak sulit digerakkan”, kata Panglima Hita Hitam lagi.

Tora bergumam, “luar biasa Panglima Hitam ini, begitu piawai mengarang cerita yang penuh bual, seolah realita yang pas, seakan ia saksi hidup yang mengetahui, mendengar dan menyaksikan peristiwa kecelakaan Tan Tualang.
“Kalian usah gaduh kali sudah ada yang mengurusnya di sana”, kata Panglima Hitam.

Tengku jurung menunduk pedih. Ia sangat sayang pada Tualang. “Kenapa kau susah kali berjodoh, anakku? Kau seperti kena santau pelalau, kau hendak orang tak hendak, orang hendak kau tak hendak”, tengku Jurung meracau dalam hati.

“Lalu bagaimana ini Hitam, undangan sudah diserak, tuan kadi sudah diberi tahu, apa yang kita lakukan agar keluarga pihak perempuan memaklumi keadaan ini”, kata bini tengku Jurung.
“Kakak tenang saja, saya dan Tora segera menjumpai mereka.”
“Ayok Tora”, kata Panglima Hitam melangkah cepat keluar rumah menuju kampung Simpang Kramat.”

Tengku Jurung dan bininya saling berpandangan, seakan mereka sedang menunggu detik-detik penjatuhan hukuman.
Tengku jurung menyuruh Kepling mengumumkan resepsi pernikahan batal lewat corong surau.
Sekejap saja sesudah diumumkan pembatalan tersebut, orang-orang kampung berduyun-duyun mengunjungi rumah tengku Jurung. Memberikan setawar sedingin.

Mata hari sudah mulai meninggi ketika Tora dan Panglima Hitam tiba di rumah tengku Kolok Sabar, ayahnda Sri Puri Kesturi, calon istri Tan Tualang.

Tora dan Panglima Hitam disambut ramah oleh pihak perempuan.
“Kami barusan mendengar kabar itu Tok. Apa hendak dikata, tiada yang tahu apa yang terjadi sedetik kemudian”, kata tengku Kolok Sabar ketika selesai mendengar penuturan Panglima Hitam.
Tora melirik Tok Hitam, tak ada yang berubah pada wajahnya, dia begitu handal memerankan lakonnya.

“Tok, sampaikan salam kami pada tengku Jurung. Kejap lagi kami mengunjunginya. Kita buat acara doa bersama untuk kesembuhan nanda Tualang.
Tora terpana.
Tok Hitam manggut-manggut.

Dan ketika langkah mereka mencecah halaman, terdengar jeritan pilu yang menyayat hati.
Tora dan Panglima Hitam balik kanan memburu suara itu.
Sri Puri Kesturi seperti kerasukan makluk halus, seperti kena polong, guna-guna.
Cepat Tok Hitam bertindak.
Ia menyuruh Tora mencari ketumbar.
Dengan sebiji ketumbar ia menekan ujung kaki Sri Puri.

Sekejap saja Sri sadar kembali. Pelan-pelan ia membuka matanya, peluhnya bercucuran. Tora memandang iba pada perempuan itu. Perempuan yang nyaris sempurna dengan kecantikan alaminya.
Sri Puri menatap lemah ke Tora. Tora mendekati dan berbisik yang hanya didengar mereka berdua.
Sri Puri tersenyum, Tora dan Tok Hitam pamit.

Di tengah jalan Tora menghunjam kata, “tok jika satu waktu nanti hal ini terbongkar, kemana kita sembunyikan muka dekil ini?”.
Panglima Hitam menjawab dengan canda, “sembunyilah engkau pada bisikanmu tadi di telinga Sri Puri.”
Tora terbahak, Panglima Hitam tersedak.

Di lain tempat, Tan Tualang sedang mengucapkan akad nikah pada perempuan yang dicintainya. Tak ada seorang keluargapun yang tahu peristiwa tersebut. Hidup memang tak pernah menyelesaikan persoalan. Dan manusia bisa saja berubah menjadi rimau yang buas.
Oh, hari esok yang misteri. (***)

Binjai, 260920,

tsi taura.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *