Cerpen Mini (Cermin), (102) ‘Pucuk Dicinta Ulam pun Hilang’

MAT KILAU tak bisa ikut mengantar Datuk Panglima Hitam ke Binjai menghadiri resepsi pernikahan Tan Tualang. Ia sedang ditugasi pimpinannya menangani kasus besar, penipuan Umrah.

Sementara itu Sita dan Hang Mejin telah melakukan usaha baru menjual pakaian muslim, songket, ulos dan pakaian adat lainnya.
Baru seminggu mereka membuka usaha itu sudah ada tanda-tanda kehidupan yang menjanjikan. Keramahan, kepiawaian Sita melayani pengunjung, salah satu pemikat banyak peminat yang membeli dagangan mereka. Ia dibantu tetangga Hang Mejin, Hartini yang berwajah manis, janda kembang yang membuat pandangan, pandang tak jemu. Ia seorang yang jujur dan religius. Suaminya tewas diamuk Covid-19 yang berprofesi dokter di Jakarta.

Bacaan Lainnya

Mat Kilau seperti melupakan Sita bersebab tugas-tugas yang ditanganinya memerlukan konsentrasi yang penuh. Perceraiannya dengan Paulina tak mengganggu pikirannya. Sudah dua kali ia gagal membina rumah tangga, Sonya dan Paulina.

Resepsi pernikahan Tan Tualang tinggal sehari lagi, Datuk Panglima Hitam dengan setia menemani sahabatnya Tengku Jurung. Tora, Marissa, Sonya dan Tan Bima pun telah hadir di rumah Tengku Jurung.

“Mana Tualang pakcik”, tanya Tora pada Tengku Jurung.
Tengku Jurung duduk gelisah, matanya kosong. Dengan suara serak ia menjawab, “inilah yang pakcik risaukan, seakan ia ingin mempermalukan keluarga. Sudah seminggu ia menghilang, padahal persiapan resepsi sudah tuntas”, kata Tengku Jurung dengan terbata-bata.

Tora dan Datuk Panglima saling berpandangan, seakan memberi isyarat mereka harus segera mencari Tan Tualang, sebelum berlumpur malu.

Tora dan datuk Panglima Hitam bergerak cepat ke arah Sukaraja, rumah alm Tengku Ulung Alas, ayahnda Tengku Sita. Pintu pagarnya terbuka, rumah panggung itu seperti ada penghuninya. “Mungkin Tan Tualang ada di dalam, karena ia salah seorang yang mampu membuka pintu rumah ini”, kata Tora pada datuk Panglima Hitam.

Panglima Hitam tersenyum pahit.
Dan menutur, “tak ada dia di rumah itu. Begitupun kita masuk saja, mana tahu ada petunjuk yang bisa mencari tahu Tualang berada di mana.”
Tora mengangguk.

Betul saja sebuah amplop tergeletak di lantai. Tora memungutnya. Dan tertulis kalimat-kalimat :
“Maafkan aku Ayah dan emak. Sudah tiba saatnya kita melenyapkan adat yang kolot. Aku tak hendak dijodohkan. Biarkan aku sendiri yang memilih calon istriku.
Ayah, emakku yang kusayang, jangan serapah aku. Karena jodoh Allah yang mengatur,
Ananda:
Tengku Tan Tualang Alas.

Berguyang kaki Tora membaca surat itu. Panglima Hitam berlinang air matanya.
“Pertikaian saudara, tak terhindar lagi. Pucuk dicinta ulam pun hilang. Hendak ke mana malu disembunyikan? 14 jam lagi perang tak terhindari”, kata Datuk Panglima Hitam menuruni anak tangga rumah panggung itu.

“Apa yang kita lakukan datuk agar pertikaian antara dua kampung, Simpang Keramat dan Limau Sundai tak pecah?”, tanya Tora.
Lama Panglima Hitam tercenung, mengembalikan benang kusut seribu. Ia nyaris putus asa.

Tiba-tiba ia menemukan jalan yang tak populer.
“Tora, kita harus berdusta untuk sebuah kebaikan.”
“Maksud datuk berdusta bagaimana?”, tanya Tora.
“Kita berpacu dengan waktu, kita tak usah berdebat. Hormati atok sebagai gurumu”, kata Panglima Hitam terisak pilu.

“Pacu kenderaanmu, sebelum subuh kita harus sudah sampai di Limau Sundai”, kata Panglima Hitam lagi. Tora memandang wajah Panglima Hitam, seperti air keruh di hulu sungai.

Tora tak berani bercakap lagi. Dengan seribu tanya di kepalanya, “semoga keterangan Tok Hitam dapat menyejukkan hati ke dua belah pihak”, Tora membatin.

Pukul 03.00 dinihari, mobil Tora berhenti di depan rumah Tengku Jurung. Anak-anak lajang bahkan beberapa orang tua masih berkombur di bawah tenda kuning.

Tora dan Panglima Hitam nyelonong memasuki rumah Tengku Jurung.
Emak dan ayah Tualang sudah terpulas letih berpikir.
Tora dan Tok Hitam keluar rumah bergabung dengan orang-orang di bawah tenda.

Tora memilih duduk di sudut jalan, menikmati angin malam, menenangkan pikiran yang kacau ulah Tualang.
Tak lama kemudian terdengar dengkur Kilau dan Tok Hitam saut-sautan.
Dan azan pun bergema sayup-sayup menyelinap ke telinga mereka.

Keduanya bergegas mengambil wuduk, shalat di bawah tenda dengan alas koran.
Orang-orang di dapur mulai sibuk-sibuk dengan tugasnya masing-masing.
Tora membisikan pada Tualang, segeralah atok atur siasat agar perang saudara terhindari.
Panglima Hitam mengangguk. (***)

Binjai, 250920,

tsi taura.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *