Cerpen Mini (Cermin), (100) ‘Pucuk Dicinta Ulam pun Hilang’

SITA dan Datuk Panglima Hitam masih berada di rumah Mat Kilau.
Seperti biasanya, Kilau pukul 06.00 Wib sudah berangkat ke kantornya di bilangan jalan RE. Martadinata, Bandung. Mat Kilau memegang posisi penting di jajaran di penuntutan perkara Tindak Pidana Umum. Sedang Paulina, istrinya bertugas di daerah Purwakarta.

Sejam kemudian Datuk Panglima Hitam pun keluar rumah entah ke mana, Sita tak bertanya kemana Datuk itu pergi. Sita meluangkan waktu membersihkan rumah dan halaman. Penuh daun-daun kering dan sampah lain yang berserakan.
Seusai itu ia membersihkan tubuhnya dengan air di pinggiran bukit yang sejuk.

Bacaan Lainnya

“Hari ini aku tak berniat pergi ke mana-mana”, Sita bergumam. Ia duduk di teras sambil membaca buku kumpulan puisi Tora berjudul “Senandung Pengembara.”
Lagi asyik-asyiknya ia membaca kumpulan puisi itu, di depan pagar terdengar seseorang memberi salam. Cepat Sita membalas salam tersebut, ia melangkah ke dekat pagar yang terkunci. Ia tak gegabah membuka pintu pagar. “Cari siapa, pak?”, tanya Sita.
“Pak Tora ada?”, tanya tamu di luar pagar dengan santun.
“Sudah ngantor pak”, kata Sita.
“Oh maaf, kalau begitu saya titip surat ini ya Neng, tolong nanti berikan pada pak Tora. Saya dari pegawai Pengadilan Agama.”
“Oh, boleh pak”, kata Sita.
Sipetugas menyerahkan sebuah amplop surat dan meminta Sinta menanda tangani di sebuah buku register. Sita menanda-tanganinya.
Petugas itu pamit dengan sepeda motor tua yang suara mesinnya sangat kasar.

Sita kembali duduk di teras, sambil berpikir-pikir apa isi amplop itu. “Biasanya, jika dari Pengadilan Agama, itu surat gugatan cerai atau putusan pengadilan atas gugatan cerai”, Sita bicara pada dirinya sendiri.
Ingin-ingin-ingin sekali Sita membuka amplop itu, tapi hatinya melarang, “itu hak privasi seseorang yang tak boleh dilanggar”, Sita membatin.
Sita masuk ke kamar dan menyimpan amplop surat itu di dalam tasnya.

Sita kembali ke teras melanjutkan membaca Puisi Tora, tapi pikirannya mulai tak fokus, bayangan Tan Tualang sulit di usirnya. Tualang seakan marah besar pada Sita yang menghilang tiba-tiba. Setelah itu muncul bayangan Mat Kilau yang gagal dalam mempertahankan kehidupan rumah tangganya dengan Sonya. Dan bukan tidak mungkin ia pun telah bercerai dengan Paulina.
Di rumah itu Sita tak melihat sepotong Foto Paulina pun di dinding. Tak ada foto perkawinan mereka. Tapi anehnya, Foto-foto Sonya seakan bertaburan di dinding rumah Kilau, padahal Sonya sudah menikah dengan Tan Bima, putra Tengku Tora. “Jangan-jangan Mat Kilau ini terjangkit sasau”, Sita bergumam.

Pikiran Sita berkecamuk. Ia berkemas, mencari rumah salah seorang murid ayahnya, ia pernah memberikan alamat rumahnya pada Sita ketika di Sukaraja dulu.

Ia bawa semua perlengkapannya, ia merasa rumah ini menyimpan banyak misteri penghuninya.
“Aku takkan mau menjadi istri yang ketiga Kilau, walau istri pertama dan kedua telah diceraikannya”, Sita bicara pada dirinya sendiri.

Sebelum melangkah meninggalkan rumah Kilau, ia meletakkan amplop surat yang diterimanya tadi pagi dari petugas Pengadilan Agama, di atas meja ruang tamu.

Petualangan Sita pun dimulai, ia ingin lari dari yang memenuhi misteri pikirannya.
Dalam diary-nya banyak tercatat alamat murid-murid ayahnya, berprilaku baik, sopan dan penyayang padanya.
Ia bingung ke mana arah langkah yang harus ditujunya.
Tiba-tiba ia tersenyum, “aku harus ke sana”, murid itu tanpa cacat moral kelihatannya.

Di lain tempat, Tan Tualang telah membulatkan hatinya menikah dengan pilihan orang tuanya. Ia kini berubah total, setiap waktu shalat berjemaah di mesjid. Berpuasa Senin-Kamis, berinfaq. Ia selalu mengitari kampung-kampung di sudut kota rambutan, memberi infaq pada yang sangat membutuhkan bantuan.
Tetapi ingatannya pada Sita tak semudah menghapus lumut di bebatuan.

Ayahnya sibuk memberi tahu sanak keluarga, tetangga dan teman-teman Tualang bahwa awal bulan depan Tualang melangsungkan perkawinannya dengan putri kampung sebelah.

Semakin dekat hari perkawinan itu, Tualang yang telah membulatkan pikirannya menerima usulan ayahnya menikah dengan pilihan mereka, Tualang tiba-tiba galau. Bayangan Sita dengan gaun duka melintas dalam sunyinya.
Menghilangkan kegalauannya, berhari-hari dia menginap di rumah Tengku Balqis di Bohorok. Ada kenyamanan yang singgah di sana buat Tan Tualang.

Tak ada orang kampung yang menggunjing mereka, mereka tahu, Tualang adalah ponakan Tengku Balqis. Dan mereka pun menjaga tata krama, adat istiadat yang kuat.
Namun hidup tak sunyi dari godaan, Tualang yang tampan dan berwibawa, Balqis walau sudah berumur, masih kelihatan awet muda dan menggairahkan.
Berkali-kali Tualang menepiskan bayangan tersebut, berganti bayangan Sita dalam kerudung duka.

Pesta perkawinan Tan Tualang tinggal seminggu lagi, ia tak pulang-pulang ke Limau Sundai. Orang tuanya gelisah bukan kepalang.
Tengku Jurung, ayah Tualang bergumam, “akankah terjadi pucuk dicinta ulam pun hilang?”. (***)

Binjai, 210920,

tsi taura.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *