Cerita Mini (Cermin), (107) ‘Sri Puri Kesturi (04)’

tsi taura

MENJELANG magrib, acara pinangan datuk Panglima Hitam terhadap tengku Balqis usailah sudah. Ketidakhadiran putri Balqis satu-satunya yaitu Sri Maharani pada acara pinangan itu menimbulkan tanya yang besar pada benak Tora.
Tora tahu Sri Maharani tidak bertugas jauh lagi dari pulau Sumatera. Bersebab ia juga yang turut memperjuangkan kepindahan tugas Sri menjadi Kepala Kejaksaan Negeri yang tak jauh dari Bohorok.

Lamunan Tora terpotong saat Marissa menyapanya untuk segera naik ke mobil bersamanya dan Sri Puri. Sedangkan Tok Hitam bersama Tengku Husein Petir di mobil yang lain. Mobil pun meluncur di bawahan curahan hujan yang deras. Jalan berkabut tebal di tikungan-tikungan tajam. Sesekali petir menyalak.

Bacaan Lainnya

Tora sudah terbiasa menyetir mobil dalam cuaca berhujan dan jalan licin dengan tikungan yang tajam.
Marissa dan Sri Puri merasa mau muntah saat Tora melaju di tikungan yang tajam, di bawah lembah yang dalam.
Apalagi jika berselisih dengan kenderaan yang datang dari arah yang berlawanan.

“Bang, jangan terlalu membanting setir di tikungan, dinda dan Sri Puri pusing, mau muntah rasanya”, kata Marissa pada suaminya.
Tora seperti tak mendengar ucapan istrinya. Ia semakin melaju. Hujan turun hingga ke kampung simpang Keramat.
Sri Puri dan Marissa turun dari Mobil berlari memasuki rumah.

Tora memarkirkan mobilnya di samping pohon rambutan. Ia masuk ke rumah melalui pintu belakang. Ia berlari kecil karena ingin pipis yang ditahan-tahannya sejak simpang kuala.
Pintu kamar mandi belakang ditolaknya begitu saja, ia sudah tak tahan menahan pipis.

“Waduh, rupanya ada orang yang di dalam”, Tora membatin.
Orang yang ada di dalam kamar mandi itu sedang menanggalkan pakaian dalamnya. Tubuh yang mulus, semuanya masih kencang. Ia menghadap ke pintu. Melihat ada yang mendorong pintu, ia membungkuk menyambar handuk menutup auratnya. Ia menjerit kecil ketika ia tahu Tora berdiri di muka pintu yang ternganga.
Tora membalikkan tubuhnya menuju ruang kamar mandi yang lain.
Bayangan perempuan di kamar mandi di belakang itu mencagil pikirannya.

Tora memasuki kamar tidurnya, Marissa sudah merebahkan tubuhnya dengan mata terpejam. Ia begitu lelah, pusing yang berat. Tora menyelimutinya dengan penuh kasih sayang.

Tora keluar kamar menuju teras. Hujan sudah sidang, ia menunggu kedatangan tengku Husein Petir dan datuk Panglima Hitam.
Tengku Sri Puri menuju ruang di mana Tora duduk, membawa baki berisikan kopi dan gorengan pisang raja. Ia membawa untuk tiga orang, ia menduga Tora menunggu tok Petir dan Tok Hitam.
Ia menyapa Tora, “tak usah banyak kali melamun kanda, ini dinda suguhkan kesukaan kanda”, kata Sri Puri.

Tora terkejut, dihadapannya Sri Puri berdaster, rambut tergerai basah sebahu, senyum yang meluluh jiwa.
“Terima kasih dinda”, kata Tora.
Sri Puri mengangguk dan pamit. Sebelum masuk ke rumah, sambil berjalan ia menyentuh lembut dagu Tora.
Tora terkesima. Jemari mulus itu menebur ombak di dadanya.

Lamunan Tora buyar oleh sinar mobil yang memasuki perkarangan rumahnya. Tok Hitam dan tok Husein Petir turun dari mobil dan berjalan menuju tempat Tora melepas angan.
Tok Hitam langsung menyeruput kopi dan menyantap pisang goreng. Sedang tok Petir menarik asap rokok 555 yang menjadi kesukaannya sejak remaja.

Tok Hitam mencagil tok Petir, “apa yang kau bisikkan pada Tora di Bohorok tadi? Nampaknya ada jurung di lubuk larangan.
Tok Petir tertawa, Tora diganggu bayangan menggoda Sri Puri yang semakin berseri dan menawan.

“Tenanglah engkau Panglima Hitam, aku hendak membuka jembatan baru sebelum Tora tersesat jauh”, kata Tok Petir melirik Tora. (***)

Binjai, 300920,

tsi taura.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *