Cerita Mini (Cermin), (106) ‘Sri Puri Kesturi (3)’

PAGI itu kampung Simpang Keramat terasa sejuk. Angin bertiup kencang, mematah ranting tua dan menggugur daun-daun kering. Burung barau-barau mematuk-matuk rambutan dan bersiul merdu.

Kampung itu masih asri dan alami. Belum terjamah tangan-tangan jahil. Pohon-pohon melayu seperti asam gelugur, cermai, enau, duku, rambutan, jambu monyet, buah enam-enam, buah renda, kuini, durian,dan embacang masih tumbuh subur.
Tora mengelilingi pohon-pohon itu, seperti ia sedang mencari sesuatu hilang.

Bacaan Lainnya

Sebuah pohon tualang yang dulu ketika ia masih kanak-kanak, tempat lebah bergantung.
Tak kelihatan lagi, begitu juga pohon asam Binjai, yang konon dari sinilah asal usul nama kota Binjai yang ada sekarang.
Di pohon tualang itu, Tora dan Sri Puri Kesturi pernah menulis sajak asmara, “ini adalah saksi kita pernah berjanji, entah siapa nanti yang mengkhianati” ttd TS.

Tora tahu dari kejauhan, Sri Puri dan Marissa menguntitnya.
Mereka curiga, sepulang kemarin dari restoran TipTop, Tora lebih banyak diam.
Marissa tak tahu kenapa Tora ke tempat itu. Sri Puri Kesturi berdebar dadanya, ia tahu dan sangat ingat tempat itu pernah ia kunjungi bersama Tora, saat Tora akan merantau jauh.

“Pulang saja kita kak, biarkan Tora melepaskan keinginannya. Tak usah kita ganggu.
Marissa menatap dingin wajah Sri Puri. Mereka saling bertatapan. Sri Puri tak hendak menunjuk gestur tubuh yang bisa mencurigakan Marissa.
Marissa menurut, mereka kembali menuju rumah kediaman orang tua Tora.

Tora menggunakan langkah kijang putih yang diturunkan datuk Panglima Hitam padanya.
Tora lebih dulu tiba di rumah, duduk di beranda depan menghadap ke jalan. Seperti tak ada kejadian apa-apa dengan santai ia menyeruput kopi dan mengepulkan asap dari bibirnya, menunggu kedatangan perempuan yang menguntitnya.

Sebelum Marissa dan Sri Puri Kesturi tiba, datuk Panglima Hitam telah tiba lebih dulu di rumah orang tua Tora, berpakaian teluk belanga, berpeci hitam. Wajahnya kelihatan lebih muda dari usianya berkepala enam.
Tora menyambut gurunya itu dengan senyum simpul.

“Hendak ke mana datuk lagak begini”, tanya Tora.
“Pinangkan atok dengan Tengku Balqis Bohorok”, kata Datuk Panglima Hitam senyum-senyum kucing.”
Kopi yang baru diseruput Tora, muncrat dari mulutnya. Untung saja tak kena teluk belanga Tok Hitam.
Bersamaan dengan itu, Marissa dan Sri Puri Kesturi tiba pula. Mereka kaget mendengar gelak Tora membahana.
Dan lebih kaget lagi kenapa Tora lebih dulu tiba di rumah itu. “Jangan-jangan yang mereka lihat tadi orang bunian”, Marissa membatin.

Mereka lalu bergabung, duduk bersama di beranda depan.
Marissa dan Sri Puri saling pandang seusai melihat penampilan Tok Hitam.

“Hendak undangan kemana datok lagak begini?”, Marissa mencagil sambil melempar senyum.
Sri Puri diam saja, menutup rapat mulutnya, menahan geli mencium aroma parfum london night yang menyengat hidung. Kepinding pun bisa mampus jika mencium aroma itu.

“Atok dinda ini minta dipinangkan dengan kak Balqis”, Tora membantu gurunya untuk menjawab.
Bergegar rasanya rumah itu dilantak gelak tawa mereka.
Hanya Sri Puri yang tak tertawa, matanya menusuk hulu hati Tora. Ia begitu piawai mencuri pandang hingga tak terlihat Marissa.

Sebagai murid yang patuh pada gurunya, Tora bersama Marissa, Sri Puri dan Tok Husein Petir menuju Bohorok.
Tak dinyana kedatangan mereka disambut secara adat melayu. Lemparan bertih bertukar tepak dan berbalas pantun.

Tora tak menikmati acara itu, seperti Sri Puri hanyut dalam sungai yang jauh dari tepian.
Situasi itu dibaca Tengku Petir dan membisik pada Tora yang hanya mampu di dengar oleh kelelawar dan mereka berdua.
Tora mengangguk dan mendampingi gurunya duduk bersila di lantai kayu. (***)

Binjai, 290920,

tsi taura

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *