PERBINCANGAN antara Tora, tok Husein Petir dan tengku Hitam sepertinya tak usai-usai. Ada saja yang mereka cakapkan terutama tentang Sri Puri Kesturi, Tan Tualang dan tengku Sita.
Tiba-tiba menjelang tengah malam muncul tengku Kolok Sabar, ayahnda Sri Puri Kesturi.
Ia ingin bertemu anaknya, ada hal yang sangat penting yang hendak dikatakannya.
Tora bergegas masuk ke kamarnya, membangunkan Marissa untuk mengatakan pada Sri Puri ayahndanya datang.
Marissa masih tertidur pulas, tak tega dia membangunkan istrinya itu.
Tora berbalik menuju kamar Sri Puri. Diketuk-ketuknya pintu kamar, tak ada sautan.
Dia dorong pelan-pelan pintu yang terkunci.
Berdesir darahnya, renjananya bertunas. Sita tidur dalam posisi telengkup, dasternya tersingkap hingga ke pangkal paha. Cepat dia beristigfar, memanggil Sita dengan lembut. Sita membalikkan tubuhnya. Senyum di atas katil sungguh mempesona.
Dia menutur, “ada apa kanda”, sambil bangkit dari peraduan.
“Ayah dinda ada di depan, temuilah, kata Tora dan melangkah ke depan.
“Kejap ya yah, Sri Puri kemari”, kata Tora. Bayangan di kamar Sri Puri tadi membuat Tora gelisah.
“Ini jurang yang tak boleh kulintasi. Marissa terlalu suci untuk dikhianati”, Tora bicara pada dirinya sendiri.
Tak berapa lama Sita Puri tiba di beranda.
Tora, tok Hitam dan Husein Petir menjauh, ke ruang tengah. Mereka tak hendak mendengar pembicaraan tengku Kolok Sabar dan putrinya.
“Tok, sepertinya ada neraka di rumah ini”, kata Tora pada Tok Hitam.
Tok Hitam dan tok Husein saling berpandangan.
“Inilah yang ingin hambe cakapkan tempo hari, saat hambe malam ke rumah datuk”, kata Tora lagi memandang lembut Tok Hitam.
“Syukurlah kau engkau cepat menyadarinya. Segeralah engkau ke tanah Pasundan”, kata tok Hitam.
“Marissa terlanjur mengajak Sita ke Bandung tanpa becakap dulu pada hambe tok”, kata Tora seperti orang kehilangan tenaga.
Lama ketiga orang itu berdiam. Tiba-tiba Husein Petir bercakap, “kebinalan Sita diketahui Tan Tualang, maka ia pergi jauh melepaskan pesta yang sudah dipersiapkan secara matang. Elok rupa tak elok kelakuan.”
Lagi asyik mereka berbincang, tengku Kolok Sabar dan Sri Puri datang ke ruang tengah,
“Maaf, si Puri saya pulang dulu, bang Hitam dan bang Husein”, kata Kolok Sabar. Mereka mengangguk serentak.
Sri Puri berkemas melintas malam tak berbulan. Ia masih sempat mengedipkan matanya pada Tora saat pamit. Tora hanya tersenyum.
“Allah melindungimu Tora”, kata Husein Petir. (***)
Selesai
Binjai 01-10-20
Tsi Taura.