Cerita Mini (Cermin), (105) ‘Sri Puri Kesturi (2)

MALAM resepsi perkawinan kabut merah yang dramatis, Resepsi yang gagal. Tora mendatangi datuk Panglima Hitam di kediamannya di pinggiran sungai Mencirim.

Ia pergi seorang diri menembus malam bersama sepeda motornya.
Di bawah rumah panggung ia menutur salam.
Rumah kayu meranti berminyak itu seakan membisu.
Dua tiga kali Tora memberi salam, suara cecak pun tak terdengar.
Ia menaiki anak tangga yang kecil mendorong pintu yang tak terkunci.
Lampu dinding menyala redup, di ruang tengah membayang sosok lelaki menghadap kiblat.

Bacaan Lainnya

Tora menunggu di sudut ruang ruang tamu. Malam semakin larut, sosok manusia yang sangat dihormatinya, belum juga bangkit.
Tora mulai gelisah, amalan apa yang sedang diwiridkan gurunya itu, ia bergumam.

Tiba-tiba Tora dikejutkan suara salam dari anak tangga rumah panggung itu. Lelaki pemberi salam tiba di hadapan Tora dan sosok bayangan putih di ruang tengah itu menghilang dari pandangan Tora.

Dugaan Tora bayangan menghadap kiblat itu adalah datok Panglima itu keliru. Bergidik juga tengkuknya.
“Sudah lama engkau di sini Tora?”, tanya datok Panglima Hitam.
Tora menatap tajam yang menyapanya tersebut. Ia tak mau terkecoh untuk kalinya. Tok Hitam tersenyum, “kenapa engkau seperti mata rimau hendak menerkam. Apa yang engkau lihat di mukaku Tora?”

Tora tersentak, ia pun terseyum dan merasa yakin yang duduk di hadapannya ini adalah gurunya.
“Bukankah atok yang bersimpuh di ruang tengah tadi?”
Datuk Panglima Hitam tergelak dan menutur, “Jin itu ada yang islam ada yang kafir. Yang engkau lihat itu Jin Islam.”
Tora tercenung, teringat dulu ayahnya merantau tapi ia sering melihat ayahnya bersimpuh di sajadah.

“Apa hendakmu, malam-malam begini kemari?”, tanya tok Hitam.
“Sri Puri Kesturi…tok”
“Kenapa dengan dia?”
Bibir Tora seperti terkatup, hendak berjujur pada Tok Hitam.
Ia menerawang jauh kisah kasihnya semasa remaja bersama Sri Puri. Saat ayahnya hendak meminang putri melayu yang penuh kharisma itu, tak disetujui ayah Sri Puri. Bersebab, Sri Puri baru tamat Esemma. Dan ibunya sedang sakit-sakit terserang diabetes akut. Dan ayah Sri Puri mendapat kabar pula, Tora hendak dijodohkan dengan putri melayu kepulauan Riau.

Datok hitam cepat membaca alam pikiran Tora.
“Tora, apa yang kau pikirkan tentang Sri Puri.
Tora tergagap, bayangan masa lalu itu lenyap bagai debu di tiup angin kemarau.
“Tora, hidup harus memilih, ditinggalkan atau meninggalkan”, kata tok Hitam.
Tora belum juga hendak bercakap, atas tanya tok Hitam. Bayangan itu muncul lagi, walau belum berjodoh, hubungannya dengan Sri Puri tak terputus. Tora pun merantau jauh, membawa hati yang kecewa. Dan hubungan kekerabatan antara orang tua Tora dan Sri Puri menjadi retak seribu.

Tora tak menduga ia masih diberi kesempatan takdir bertemu dengan Sri Puri.
Tora berusaha mengubur segala kenangan lama, tapi semakin dikubur semakin bertunas mekar.
“Tora, bercakaplah pada atok yang mengusik pikiranmu, mana tahu cakap atok berguna buatmu.
Tora menatap sendu gurunya itu dan menutur, “biarlah kutahanlah dulu apa yang hendak kusampaikan pada atok, sampai tiba waktu yang tepat, tok.”

“Pikir itu pelita hati, nanda Tora. Atok tunggu sampai jiwamu tenang. Semoga Allah memberikan kita kesehatan dan umur panjang”, kata datuk Panglima Hitam.
Tora mengangguk merebahkan tubuh di rumah sang guru. (***)

Binjai, 280920,

tsi taura.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *