Oleh. Riri Satria*
DALAM berbagai kesempatan diskusi tentang sastra, saya sering membahas pertemuan sastra dan teknologi. Setidaknya sampai saat ini, ada tiga titik temunya, yaitu (1) teknologi sebagai topik sebuah tulisan sastra (misalnya novel tentang hacker), (2) teknologi sebagai media penyampaian karya sastra (medium of delivery seperti media sosial, streaming, dan video conferencing), serta (3) teknologi membawa inovasi terhadap karya sastra (misalnya munculnya hypertext poetry akibat teknologi digital).
Perkembangan teknologi digital (atau internet) sebagai medium of delivery membawa manfaat yang dahsyat kepada masyarakat. Bayangkan, sebuah peristiwa atau acara dapat dinikmati oleh masyarakat di belahan dunia manapun selagi punya akses ke internet, tidak hanya mereka yang berada di lokasi acara atau peristiwa. Hal ini tidak hanya berlangsung searah seperti streaming, melainkan juga dua arah melalui fasiliats video conferencing yang sudah marak saat ini.
Sepanjang pengetahuan saya, Festival Sastra Internasional Gunung Bintan (FSIGB) 2020 di Tanjung Pinang adalah sebuah festival sastra yang besar di Indonesia, yang juga memanfaatkan teknologi digital sebagai medium of delivery. Para pemirsa yang berada di berbagai wilayah di Indonesia dapat mengikuti acara festival ini melalui fasilitas streaming seperti di YouTube, serta interaktif mengikuti seminar melalui fasilitas video conferencing.
Dalam skala yang lebih kecil peringatan Hari Puisi Indonesia 2020 yang diselenggarakan oleh Yayasan Hari Puisi Indonesia beberapa waktu yang lalu juga memanfaatkan teknologi digital, yaitu perangkat video conferencing Zoom untuk menghadirkan para penyair dari seluruh Indonesia untuk hadir bersama di dunia maya.
Kalau tidak salah, pelaksanaan Banjarbaru Rainy Day Literary Festival tahun 2020 ini juga akan diselenggarakan secara daring. Demikian pula acara internasional Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2020.
Tantangan utama untuk pemanfaatan internet sebagai medium of delivery ini adalah kapasitas atau bandwidth internet itu sendiri serta jangkauan aksesnya. Kita harus akui masih banyak wilayah di Indonesia ini yang fakir sinyal internet, bahkan masih ada yang tidak memiliki sinyal internet sama sekali. Ini memang tantangan kita bersama. Ini disebut dengan digital gap atau digital divide.
Memang infrastruktur Palapa Ring sudah menjangkau semua wilayah Indonesia, namun kita masih punya pekerjaan rumah untuk ke tingkat yang lebih kecil, yaitu akses ke berbagai pelosok wilayah. Dulu pernah ada program internet masuk desa digagas oleh kementrian Kominfo, namun entah bagaimana kondisinya sekarang, saya juga belum punya informasinya.
Jangan khawatir dengan kemampuan manusia Indonesia untuk menggunakan internet. generasi X, Y, Z, dan Alfa sudah mampu menggunakan internet dengan baik. Bahkan generasi Z dan Alfa disebut Google Generation atau Internet Natives karena sejak mereka lahir, internet sudah ada. Mereka dengan mudah beradaptasi dengan gawai atau aplikasi yang baru. Sementara itu generasi X dan Y adalah generasi peralihan atau internet migrants. Mereka merasakan peralihan dari dunia tanpa internet sampai dengan munculnya internet.
Mungkin kalau ada yang gamang dengan internet dan selalu mengenang romantisme masa lalu tanpa internet atau mempertentangkan internet dengan kondisi sebelumnya hanyalah sebagian (tidak semuanya) dari generasi baby boomers serta silent generation.
Penyair kawakan Sosiawan Leak adalah contoh yang mampu mengadopsi teknologi digital. Dua buku kumpulan puisinya yang terakhir sudah dilengkapi dengan QR Code untuk mengakses video pembacaan puisinya di internet. Mungkin ini hal biasa untuk para penulis milenial. Namun Mas Leak mampu mengikuti perkembangan teknologi dengan baik, sehingga mengkombinasikan puisi (teks), penampilan (performance), serta teknologi digital.
Nah, kembali kepada perhelatan FSIGB 2020 ini, ternyata membuka mata kita bersama dunia sastra pun sudah bersanding dengan puitisnya dengan teknologi digital, walau masih berbentuk medium of delivery. Salut untuk kerja keras panitia FSIGB 2020 untuk membawa acara ini juga bisa hadir di dunia maya sehingga bisa dinikmati oleh para penyair, penulis sastra, dan pencinta sastra, di manapun berada.
Namun satu hal yang perlu kita pahami, teknologi hadir bukan untuk menggantikan manusia atau nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Teknologi hadir untuk memudahkan kehidupan kita atau memberikan value terhadap hidup kita. Teknologi tinggi harus dibarengi dengan sentuhan manusiawi yang tinggi pula, seperti kata John Naisbitt, high tech high touch. Itulah yang dikenal dengan tatanan society 5.0.
Tetapi Indonesia adalah negara yang sangat kompleks. Semua tipe peradaban masyarakat ada di negara ini, mulai dari society 1.0 (food hunting and gathering society) sampai dengan society 5.0 (digital and smart society). Namun, ini pembahasan yang lain lagi dan lebih kompleks.
Oh ya, bagaimana titik temu lainnya yaitu inovasi karya sastra dan teknologi, misalnya munculnya hypertext-poetry karena teknologi digital, atau fenomena computer-generated poetry karena teknologi artificial intelligence dan machine learning? Nah, kapan-kapan kita bahas pada kesempatan yang lain.
Selamat untuk FSIGB 2020. Bravo!
(Bogor, 26 September 2020)
*Riri Satria, pencinta puisi, pengamat ekonomi digital dan kreatif, Founder and CEO pada Value Alignment Innovation and Technology Advisory (VITech), dosen Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia