Cerita Mini (Cermin), (09) ‘Eksekutor Dari Tanah Melayu’

oleh -2,751 views
tsi taura

SAHABAT Tora, Arie Scot ikut cuti. Ia kembali ke Ceribon, Tora ke kota rambutan, Binjai Sumatera Utara.
“Tora, semoga doa kita terkabul, segera pindah tugas”, kata Arie Scot saat mereka menaiki mobil rental menuju Jambi.
“Insya Allah”, kata Tora.

Cuaca mendung berembun, matahari masih di peraduan, dua sahabat itu dari Kuala Tungkal menuju bandara Sultan Thaha Jambi. Sepanjang jalan mereka berkeluh-kesah menghadapi pimpinannya yang mau menang sendiri. Diajak makan, nasi belum disuap sipemimpin menyindir-nyindir dua orang tersebut. Arie Scot sudah tak betah lagi bertugas di bawah kepemimpinannya. Tuhan menolong mereka, seorang wanita yang baru menduduki posisi Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi Jambi membantu mereka mutasi. Pejabat itu sangat baik, cantik, dan mudah tersenyum.

Saat mereka tiba di kampung halaman, SK mutasi itu sudah ditandatangani pimpinan di Kejaksaan Agung.
Mereka berhasil menerabas kebuntuan hidup di Kuala Tungkal.

Apa yang dipikirkan oleh Tora tentang panggilan ayahnya meleset. Perjodohannya dengan Syarifah Rachmi batal, entah apalah sebabnya, Tora tak mendapat jawaban dari ayahnya. Emaknya juga tak tahu bahkan saudara-saudaranya tak seorang pun yang tahu.

Dua hari berada di Binjai, kota rambutan itu, ayahnya membawa Tora ke sebuah perumahan perkebunan. Semula ia tak tahu rumah siapa yang mereka tuju.
Kedatangan mereka rupanya sudah ditunggu oleh tuan rumah. Seorang di antaranya dikenal Tora, tutur atoknya seorang staf perkebunan.

Tora lalu diperkenalkan atoknya itu dengan tuan rumah, istrinya dan tiga orang anaknya.
Darah Tora berdesir dan bergumam, “di sinikah cintaku berdermaga?”

Saat itu ayah Tora dan tuan rumah bicara tentang hubungan kekeluargaan mereka. Seperti membuka terombo yang lama tertutup.
Tora hanya mendengar, seperti murid yang tekun mendengar ceramah sang guru.

Pertemuan itu diakhiri dengan makan siang bersama.
Tora tiada malu-malu menyantap hidangan yang tersedia. Ayahnya melirik, seakan memberi isyarat, “jangan terlalu lahap.”
Seusai makan siang, Tora dan ayahnya pamit dengan sepeda motor tua. Ban-nya menipis mulai gundul. Tanpa spion. Diengkol berkali-kali baru hidup.
Tora pun melajukan kenderaannya melewati pohon-pohon tebu, jalan berdebu. Panas menyengat.

Di rumah, Tora menunggu dengan seribu tanya, apa yang bakal ditanya ayahnya tentang kunjungan tersebut.
Ia menduga, “ini pasti tentang kesan kunjungan tadi, tentang seorang perempuan berwajah Pakistan.”

Tiba-tiba seusai Ashar, ayahnya, emaknya dan datuk Panglima Hitam sudah berada di ruang tamu. Seperti seorang anak yang akan diberi petuah sebelum merantau jauh.

Tora duduk di dekat dinding seakan siap dieksekusi. Emaknya tersenyum, tok Hitam menyeruput kopinya. Si ayah sepertinya akan memulai pembicaraan. Ia sedang berpikir dari mana harus dimulai. Salah langkah, anaknya itu pasti berontak. (***)

Binjai, 141020,

tsi taura.