Kabut Tanah Tembakau (114)

HAZMAH menarik tangan Marlina ke ruangan belakang yang berhadapan dengan taman. Harum Cempaka dan Jelita membiarkan keduanya. Bunga hatinya sedang berbunga-bunga setelah menyampaikan perasaannya kepada Rakat masih berdiri di depan pintu. Tidak ada yang perlu dicurigai dengan kedua anak manusia itu. Setelah keduanya duduk menghadap taman, Hamzah masih belum bisa berkata-kata. Sulit untuk menggungkapkan perasaannya.

Marlina memperhatikan wajah Hamzah. Tidak rileks dan sedikit tegang, namun tidak mengurangi ketampanannya. Ketika Hamzah menetap sorot mata Marlina, ia hanya merunduk. Marlina juga ikut grogi.

Bacaan Lainnya

Ini pertama kalinya keduanya merasakan benih-benih cinta yang tumbuh. Ah, Marlina merasakan benih itu menusuk kalbunya. Keduanya lalu tersenyum bersama. Tidak bisa mengungkap lewat kata, namun dapat dirasakan.

“Ah, saya merasakan sesuatu dalam getaran jiwa ini. Melihatmu Hazmah, aku ingin hidup beribu tahun lagi,” kata Marlina.

Hamzah perlahan memegang tangan Marlina dan menariknya untuk berdiri. Keduanya begitu dekat. Mata Marlina terpejam. Perlahan Hamzah mengelus rambut Marlina yang tergerai panjang. Hamzah kian mendekat. Dengan lembut Hamzah mengecup kening Marlina. Keduanya terbuai gelora asmara. Perlahan Hamzah membisikan sesutau ke telinga Marlina.

“Aku menyangimu,” bisik Hamzah lembut.

Seketika Marlina memeluk Hamzah erat-erat. Keduanya berpelukan seakan tak ingin berpisah untuk selamanya. Ketika bersama di alam nyata, banyak kesempatan untuk mengungkapkan perasaan, namun itu tidak bisa dilakukan karena masih selalu bersama. Perpisahan dalam beberapa bulan membuat keduanya merasa kehilangan.

Di alam bunian ini, di negeri entah dimana, keduanya baru bisa menyampaikan perasaannya masing-masing. Marlina tidak ingin berpisah lagi dengan Hamzah. Tapi situasi berkata lain, malam ini, Ruwondo akan mengumumkan Marlina sebagai permaisurinya.

“Hamzah, kita harus lari dari tempat ini dan kembali ke dunia kita!” kata Marlina.

Hamzah masih terdiam. Ia juga ingin melakukan hal yang sama, namun bagimana keduanya bisa lolos kemabali ke alam nyata? Hamzah belum menemukan jalan itu. Masih buntu. Ataukah menerima takdir? (***)

Pondok Melati,

Regardo Sipiroko

*DILARANG mengutip keseluruhan atau sebagian dari Novel Mini ini dalam cuplikan atau utuh untuk film, video, audio, tulisan atau bentuk apapun tanpa izin dari www.gapuranews.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *