PERPISAHAN tidak bisa dielakkan dan harus terjadi. Mengapa kemenangan yang sudah diraih harus berakhir dengan perpisahan yang begitu cepat. Justru hidup Marlina dan Hamzah akan makin membaik setelah ada perpisahan. Sebab, alam paralel atau alam bunian bukan alam mereka.
Semua diam sejuta bahasa ketika Marlina dan Hamzah sudah berada di pintu gerbang ke alam nyata. Pintu yang beberapa minggu lalu dilewati Marlina dan Hamzah. Begitu cepatnya waktu berlalu. Belum sempat menikmati petualangannya, namun Marlina dan Hamzah berpisah dengan alam bunian.
Tak terasa menetes juga air mata Marlina saat melihat pintu gerbang sudah berada di depannya. Sekujur tubuhnya merinding. Ia akan kembali ke alama bebas, namun harus berpisah dengan keluarganya. Terutama sekali kakek buyutnya Handoyo. Satu per satu ia memperhatikan wajah, Jelita, Bunga, Harum Cempaka dan Handoyo.
Tiba-tiba saja Marlina langsung berlari memeluk Handoyo dan menangis sejadinya dipelukan kakek buyutnya itu. Air mata Jelita, Bunga dan Harum Cempaka pun menetes. Handoyo mengelus rambutnya Marlina penuh kasih.
“Pulanglah! Jangan pernah kembali lagi. Hiduplah di alammu dengan baik,” kata Handoyo dengan mata yang berkaca-kaca.
“Iya kek! Selamat tinggal kek!” ucap Marlina sambil melepas pelukannya.
“Hamzah orang baik!” kata Handoyo.
Marlina hanya mengangguk. Perlahan ia mundur beberapa langkah. Hazmah langsung memegang tanganya dan mengajaknya berjalan untuk melintas pintu gerbang. Marlina melambaikan tanganya.
Matahari terik ketika Marlina dan Hamzah tiba di alam nyata. Keduanya terbegong-bengong melihat sekeliling. Bangsal tempat menjemur tembakau di Saentis sudah tidak lagi. Tanaman tebu dan tanah lapang yang berdebu kini menjadi perumahan mewah.
Marlina dan Hamzah kini berada di tengah jalan di perumahan super mewah Deli City. Tidak ada lagi jejak perkebunan tembakau Deli yang harumnya sampai ke daratan Eropa itu. Seluas mata memandang yang terlihat hanya perumahan.
Tiba-tiba di tikungan jalan muncul bapak tua sedang bersepeda menuju arah Marlina dan Hamzah. Marlina melambaikan tangannnya. Pak tua bersepeda berhenti dengan penuh tanda tanya.
“Pak tahun berapa sekarang?” tanya Marlina.
Pak tua bersepeda semakin bingung. Dia memperhatikan wajah Marlina dan Hamzah.
“Masa tidak tahu, sekarang tahun 2030…” kata pak tua bersepada sambil berlalu dengan menggelengkan kepalanya. “Mabok kok siang hari,” kata bicara sendiri.
Marlina dan Hamzah saling pandang. Kedua tertawa kecil. Tak ada kalimat yang bisa keluar dari mulut mereka. Keduanya berpelukan. Lalu Hamzah menggandeng tangan Marlina menuju jalan besar. (tamat)
Pondok Melati,
Regardo Sipiroko
*DILARANG mengutip keseluruhan atau sebagian dari Novel Mini ini dalam cuplikan atau utuh untuk film, video, audio, tulisan atau bentuk apapun tanpa izin dari www.gapuranews.com