Cerpen Tiga Paragraf (Pentigraf) (53) ‘Rumah Di Tikungan Sungai’

HAMPIR sepuluh tahun Mat Kilau tak pulang kampung. Terakhir di mencecah tanah kelahirannya ketika emaknya meninggal dunia. Saat itu Mat Kilau belum menikah. Dia anak tertua dalam keluarganya. Ayahnya berkali-kali membawanya bertandang untuk melihat-lihat gadis mana yang menawan hatinya. Mat Kilau hanya tergelak dan berkata,”pak jodohku bukan dari telunjuk bapak. Bila waktunya tiba aku akan menikah.”
Siayah terduduk lesu, istrinya sudah tidak ada, anaknya tak juga mau menikah, sementara dia semakin senja.

Rapat keluarga digelar secara adat melayu. Saat itu Mat Kilau sudah jadi penuntut umum di negeri sepucuk jambi sembilan lurah. Tepatnya di daerah Kuala Tungkal. Pada saat Mat Kilau bertugas itulah rapat digelar. Atoknya, Tengku Husein Petir yang memimpin rapat. Dan diputuskan Putri Sri Kemala yang akan dipinangkan buat pendamping hidup Mat Kilau. Kedua belah pihak telah sepakat, acara meminangpun telah dilaksanakan. Mat Kilau sama sekali tak diberitahu. Sebulan sekali biasanya Mat Kilau pulang ke kampungnya di Simpang Kramat kota rambutan.
Saat dia pulang yang terakhir dia singgah di warung wak Lela, minum kopi dan roti kelatak. Wak Lela senyum-senyum ketika melihat Mat Kilau datang. Dagangannya pasti habis karena Mat Kilau suka neraktir siapa saja yang singgah ke warung wak Lelang.
Tiba-tiba saat kawan-kawan Mat Kilau ngumpul di warung tersebut, wak Lela terceplos, “Mat jangan lupa undang wak ya, kualat engkau jika tak ada undang uwak.”
Berdesir darah Mat Kilau mendengar ucapan wak Lela. “wah gawat, dengan siapa pula aku dijodohkan bapakku”, Mat Kilau bergumam.
Mat Kilau hanya senyum pahit menjawab ucapan Wak Lela.

Bacaan Lainnya

Ketika Mat Kilau tiba di rumah, keluarga sudah ngumpul. Mat Kilau mengucapkan salam dan menyalami satu persatu keluarga yang duduk bersila di atas tikar.
Mat Kilau ke dapur menemui makcik kesayangannya dari pihak emak, “ada acara apa bu, ramai begini.” Makciknya menjelaska dia dijodohkan dengan putri Sri Kemala kerabat dekat bapaknya. Lewat pintu belakang, mat Kilau menghilang dari pandangan makciknya. Dia menelusuri sungai yang rimbun tumbuhan bambu. Di tikungan akhir, sebuah rumah tinggi dia bersembunyi di rumah datuk panglima hitam.
Datuk itu sepakat dengan Mat Kilau, adat lapuk itu perlu dirubuhkan. Datuk itu berjanji menemui ayah Mat Kilau untuk tidak memaksa perjodohan dengan Sri Kemala. Senja turun, keluarga murung, tak tahu di mana Mat Kilau. Darah ayahnya mendidih. (***)

Binjai, 180720
Tsi Taura.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *