Cerpen Tiga Paragraf (Pentigraf) (48) ‘Demam Puyuh’

COVID-19 hingga kini belum dapat dijinakan, Binjai kota rambutan itu dalam zona merah. Tora kaget, masyarakat di kampung halamannya seperti tak ada kejadian saja. Banyak yang lalu-lalang tak bermasker. Tak menjaga jarak, kerumunan yang berjubel. Padahal himbauan penguasa setiap hari. MUI pun mengeluarkan Fatwa, semua dicuekin. Tora tetap mematuhi ketentuan protokol kesehatan. Tak ada tamunya yang lolos masuk ke rumahnya tanpa memperhatikan protokol kesehatan, minimal bermasker. Matahari mulai meninggi, Mat Litak belum juga bangun. Ratih dan Marissa sudah ke pajak membeli lauk-pauk untuk makan siang. Hang Kilau pamit ke Tanjung Balai Asahan. Tora terpaku di meja kerjanya melahap buku-buku hukum untuk bekal prakteknya dengan profesi baru sebagai Advocat. Sudah lama matanya tak membaca buku-buku hukum. Rokok tak putus-putus disambungnya. Puntung berserak di mana-mana. Setiap meja Marissa menyediakan asbak.
Ketika azan zuhur berkumandang, Mat Litak terbangun. Keluar kamar dengan harapan tak ketemu lagi dengan Ratih. Dia menuju ke ruang kerja Tora, menyambar rokok Tora yang tergeletak di meja.
Tora menghunjam Mat Litak dengan ucapan, “Mat, kau kejam, jauh-jauh Ratih datang kau acuhkan. Kalau kau tak suka kau harus katakan dengan lembut. Bukan dengan menghindarinya. Bagaimana kalau ibumu diperlakukan demikian oleh ayahmu. Sekarang kau tahu dia tergeletak di kamar, dia demam tinggi. Mengingau pilu. Ayo lihat dia jika kau masih menganggap aku sahabatmu”, kata Tora dengan mimik marah. Mat Litak kaget, sudah lama dia tak menyaksikan Tora marah. Rokok tak jadi dihidupkannya. Dia pamit mandi dan persiapan shalat. Tora tak menyaut. Begitu Mat Litak beranjak ke kamar mandi, Tora memanggil Marissa. Pada Marissa Tora menyuruh acting Ratih diperdalam. Mat Litak sudah ketakutan kata Tora Marissa. Marissa memberi selimut tebal pada ratih. Pelipisnya bertempel prangko salon pas.
Tora pun berwudu. Selesai shalat Tora kembali ke ruang kerjanya, perutnya belum terasa lapar. Mat Litak pun muncul mohon ijin untuk melihat Ratih. Hampir saja gelak Tora berserakan. Dengan tersenyum dia menemani Mat Litak ke kamar Ratih.

Marissa dan Tora memberikan peluang buat Mat Litak untuk melihat Ratih. Di kamar, Tora tergelak, sandiwara mereka berhasil mengecoh kekerasan hati Mat Litak. “Ke dokter ya” kata Mat Litak pada Ratih. Ratih menggeleng. Air matanya berlinang. Acting yang sempurna seorang psikolog. Dia berhasil memainkan peran sebagai penderita “demam puyuh”, demam yang berpura-pura. Tak lama kemudian Mat Litak keluar bersama Ratih untuk makan bersama. Lagi makan muncul ayah Mat Litak. Tora dengan santun melayu yang kental menyongsong dan mencium tangannya. Tora langsung mengenalkan Ratih pada ayah Mat Litak. Tora membisik, “Ratihlah yang merawat Mat Litak ketika stress berat. Gimana pakcik, setujunya kita jodohkan si Litak dengannya?” Ayah Mat Litak tersenyum. Ayahnya bergumam, “kenapa berprangko pelipisnya? Bejeket pula siang-siang begini.”
Tora seakan mendengar gumaman ayah Mat Litak. “Demam puyuh pakcik, rindu yang terabaikan”, kata Tora.
Ayah Mat Litak tergelak deras, nasi di mulutnya berhambur ke muka Ratih. Berkali-kali dia minta maaf. Ratih tersenyum membersihkan mukanya. Mat Litak seperti kena malaria. Diam saja. Sekali-sekali beradu pandang. Ratih seakan benci, menbuang pandang. Marissa meledek, Ratih mencubit paha Marissa. Suasana jadi meriah. Redup petir menyalak. Hujan melebat. Ratih menggigil. Mat Litak semakin khawatir. (***)

Bacaan Lainnya


Binjai, Juni 2020
Tsi Taura

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *