Cerpen Tiga Paragraf (Pentigraf) (35) ‘Ningrum’

Perempuan bercelana levis, berkaos hitam ketat, meluncur menyetir mobil sedan honda menuju jalan Tanah Merah, Binjai kota rambutan. Sore matahari sudah meredup dipeluk kabut gunung. Angin bertiup lembut. Jalan terasa sunyi dilantak covid-19. Sekejap saja dia telah tiba di tempat yang dituju. Dia kaget, gubuk yang 17 tahun yang lalu dia singgahi rata dengan tanaman jagung, kacang dan cabai. Dia bertanya pada orang-orang di sekitarnya, tak ada yang tahu. Dia mencari Kepling, dari situ dia memperoleh informasi kecil. Pemiliknya mbak Sarinem sudah pindah setahun yang lalu ke daerah Limau Sundai.

Limau Sundai tidak begitu luas, perempuan yang bernama Ningrum itu dengan cepat dapat melacak keberadaan Sarinem. Dari Rahman, salah seorang Kepling di Limau Sundai Ningrum memperoleh keterangan. Sarinem baru seminggu yang lalu berangkat ke Tanah Pasundan bersama putri sulungnya, Ningsih. Konon Ningsih diterima sebagai relawan penanganan penderita covid-19. Ningrum terperenyak di kursi kayu rumah si Kepling. Ingatannya melayang ke masa lalu, tengah malam dia meletakkan bayinya yang masih merah di sebuah gubuk di ujung jalan tanah merah. Ningrum kesal pada orang tua lelakinya yang tak merestui pernikahannya dengan kekasih yang menghamilinya. Lelaki itu menghilang tak tahu rimbanya. Saat itu dia memberi nama putrinya, Rita Mentari. Ningrum bergumam, “Apakah Ningsih adalah Rita Mentari.” Dibahu Rita, dia tato nama Rita.

Bacaan Lainnya

Dia berniat mencari Ningsih ke Bandung. Tapi dia teringat pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar(PSBB) dan larangan mudik diberlakukan. Pesawat tak ada yang beroperasi. Dia tak putus asa, menunggu waktu yang tenang ke tanah Pasundan. Dari Limau Sundai Ningrum ke pasar kaget, perutnya kosong sejak tadi siang. Dia memilih warung yang menjual nasi padang. Duduk menghadap jalan raya yang masih sepi. Tiba-tiba dia melihat Harun, lelaki yang babak belur diajar ayahnya ketika melamarnya. Dipanggilnya, Harun menoleh dan singgah di situ.
Ningrum berbasa-basi menanya kabar dan kemana selama ini. Harun tersenyum getir, “Tiap manusia mempunyai takdir, jalani takdirmu, aku menjalani takdirku.” Harun menyalami, mengecup kening Ningrum dan cabut entah kemana. Ningrum bergumam, “salahku, kenapa dulu aku menolak kawin lari.” Malam pun jatuh di atas kota rambutan.

Bdg, 150520
Tsi taura

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *