Cerpen Tiga Paragraf (Pentigraf) (20) ‘Seribu Lilin Kerinduan’

Matahari mulai merunduk jauh. Senja jatuh di perkampungan tua tak jauh dari bukit yang indah. Udara sejuk mulai menusuk raga. Ini adalah jalan pintas menuju kabupaten yang tak dijaga petugas pemantau larangan mudik. Mat Litak, lelaki berdomisili di ibu kota provinsi menelusuri jalan tersebut untuk bisa menembus rintangan menuju kampungnya. Dia terimbas pandemik Covid-19 yang membatasi gerak langkah anak manusia. Perintah berkurung di rumah harus dipatuhi. Ke rumah sucipun dilarang, ini pertanda keadaan memang sangat darurat. “Tapi siapa yang mampu membendung rindu?”, Mat Litak membatin sembari melarikan kenderaannya dengan kecepatan tinggi. Jalan-jalan tikus pun dilewati, rajin bertanya jika dia mulai tersesat di jalan buntu. Dia ingat kata gurunya, “kalau sesat di ujung jalan, kembalilah ke pangkal jalan”. Itulah kompas perjalanan yang dipedomaninya, untuk menempuh jalan jauh, menembus rindu yang cukup lama dia abaikan. Kini ketika larangan mudik diberlakukan, rindunya untuk melihat istrinya baru menyala.
Mat Litak nikah dengan perempuan yang bukan pilihannya. Kawin dijodohkan orang tua. Seminggu menikah dia menghilang. Meninggalkan Aini Kalsum, putri melayu berwajah teduh.

Azan subuh belum lagi bergema, kokok ayam masih tersimpan di ranting-ranting basah. Mat Litak sudah semakin dekat ke rumah istrinya. Dia mempercepat laju kenderaannya. Tiba di rumah istrinya, matahari masih rabun. Pagar masih tertutup rapat. Dia berteriak-teriak memanggil nama istrinya, tak ada sahutan. Mat Litak memanjat pagar dan menggedor pintu depan. Pintu dibuka oleh ayah Mat Litak. Dia mencium tangan ayahnya dan nyelonong masuk ke kamar istrinya. Dia kaget, Aini Kalsum tak berada di kamar tersebut. Dia bertanya pada ayahnya, si ayah membisu, Mat Litak panik. Kepalanya berdenyut, dia tergeletak di sofa ruang tamu. Matanya tak terpicing, pikirannya berkecamuk. Tertanya-tanya keberadaan istrinya. Ayahnya sebagai salah seorang yang paling tahu tentang istrinya menutup mulut.

Bacaan Lainnya

Matahari mulai bersinar, Mat Litak masih tertidur pulas di ruang tamu. Dia baru terbangun ketika suara ayahnya berkali-kali memanggilnya.
Dia melihat jam di tangan kirinya, sudah tengah hari. Dia langsung ke kamar mandi dan setelah itu dia berbincang dengan ayahnya di ruang tamu.
Mat Litak menjelaskan ke mana dia selama ini, dia menjadi nelayan di Kepulauan Riau . Dan sempat menjadi TKI illegal di Malaysia. Terakhir dia berdiam di kota Palembang. Ayahnya menginfokan istrinya pergi hingga kini tak diketahui keberadaannya.
Mat Litak terdiam panjang. Dengan penuh kekecewaan dia pamit pada ayahnya. “Kemana lagi kau hendak pergi, nak. Ibumu telah tiada seminggu kau menghilang, ditebas begal di jembatan penyeberangan, istrimu tak tentu rimbanya. Kini kaupun hendak meninggalkan ayah seorang diri di usia senja ini. Tegakah kau wahai anakku semata wayang.?” Mat Litak tertunduk lemas. Dia kuatkan semangatnya, pelan dia menutur, “Ayah, aku membawa seribu lilin kerinduan, tak sebatang pun menyala. Biarlah aku pergi mencari pembunuh emak, mencari cahaya istriku hingga aku padam di pangkuannya.” Si ayah menangis, merela Mat Litak menentukan jalan hidupnya. “Lahir seorang diri, tua sendiri, lalu mengapa aku takut hidup dalam kesendirian?”, si ayah bergumam.

Bdg, 300420
Tsi taura

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *