Cerpen Mini (Cermin), (88) ‘Asmara Tanah Melayu (2)

BISIKAN Tan Tualang membuat Sri Maharani seperti mendapat durian runtuh. Hatinya berbunga-bunga, gembira tak kepalang-tanggung. Emak Sri melihat kegembiraan putri semata-wayangnya yang belakangan ini kelihatan burung, seperti memikul beban yang berat.

“Kau kenal di mana lelaki tampan yang berbisik padamu tadi?”, tanya emak Sri Maharani.
“Dia sahabat atasan Sri di Tanjung Pinang, Tengku Tora, mak.”
“Tengku Tora anak pakcikmu, alm Tengku Idris?”
“Iya mak.”
“Di mana dia sekarang? Dia itu suka membantu orang susah seperti ayahnya. Sudah lama dia tak kemari”, kata emak Sri Maharani.

Bacaan Lainnya

“Di Bandung mak, dia minta pensiun dini, sekarang dia menjadi Advocat dan Penyair.
Balqis, emak Sri memandang jauh, seakan ingatannya berlabuh di sebuah dermaga.
Sri tersenyum dan mencagil emaknya, “yang sudah lepas tak usah dikenang lagi, sudah menjadi hak orang lain.”
Emaknya bagai tersentak dalam mimpi yang indah.”

“Cinta pertama takkan terhalau oleh tsunami, nak”, kata emak Sri.
Azan pun berkumandang tenang, seperti terhanyut dalam sungai surga.
Kedai pun di tutup Sri. Mereka tinggal di kedai itu juga, di lantai atas berdinding papan.

Tan Tualang seusai maghrib tiba di rumah ayahnya di Limau Sundai.
Saat itu ayah, ibu dan perempuan asing yang masih dirahasiakan Tualang identitas lengkapnya, tiba di rumah dari surau.

Di meja makan, Tualang menceritakan pada orang tuanya, siapa perempuan itu. Dan mereka telah berjanji melangsung pernikahan di Limau Sundai.

Emak Tualang meneteskan air mata mendengar penuturan putranya. Dia mendekati calon istri Tualang, memeluk erat dan menutur kata yang lembut, “emak senang akhirnya Tualang hendak juga menikah. Puluhan putri kami tawarkan untuk menjadi pendamping hidupnya, semua ditolak. Rupanya takdir dalam pelukanmu”.
Perempuan itu tersipu malu sekaligus senang bisa menaklukkan hati lelaki tersebut.

“Kapan rencanamu menyunting ananda ini”, tanya ayah Tualang.
“Dua purnama lagi ayah ketika segala ilmuku yang membelakangi kiblat tuntas dibersihkan Datuk Panglima Hitam”, kata Tualang sambil memandang calon istrinya.”
Perempuan itu mengangguk.

Tualang teringat janjinya pada Sri Maharani untuk ketemu besok sore di vila Bukit Lawang. Esok paginya dengan diam-diam dia menelusuri Bohorok. Dia menunggu Tora di sana sebelum menemui Sri Maharani.

Tora tak muncul-muncul, tak sepetik berita pun yang dikirim Tora pada Tualang.
Dia tak ingin Sri kecewa, seorang diri dia mengetuk pintu rumah Sri Maharani. (*)

Medan, 050920,

tsi taura.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *