Cerpen Mini (Cermin), (101) ‘Pucuk Dicinta Ulam pun Hilang-2’

SITA dengan pikiran yang galau menghubungi taksi online. Beberapa menit kemudian, taksi itu berhenti di depannya. Sita membuka pintu dan menghentakkan tubuhnya ke jok belakang.
“Neng, Naripannya di mana”, tanya sang driver.
“Melihat alamat yang saya catat, di seputaran BRI, bang”, jawab Sita.
“Baru pertama kali ya ke situ”, tanya driver lagi.
“Iya, bang.”
“Bisa saya lihat catatan alamat itu, neng?”
Sita menyerahkan catatan kepada driver.

Luar biasa kagetnya si driver membaca catatan itu. Tapi ia berusaha tenang.
Driver itu tak melihat ke belakang, dia berusaha menyembunyikan wajahnya dengan memakai kaca mata dan topi.
Ia tak mengarahkan kenderaannya ke Naripan. Ia melaju ke arah Dago Atas. Vila-vila berjejer indah. Udaranya dingin dan segar.

Bacaan Lainnya

Tiba-tiba Sita teriak, putar kembali, jangan bohongi saya, ke mana hendak kau bawa saya?!”

Sang driver memutar kenderaannya, kembali menuju tempat Sita menunggunya tadi.
“Rupanya Sita tak menandaiku lagi”, si driver membatin.
Tadi si driver membawanya ke Dago Atas dengan maksud yang baik, ia ingin Sita dapat melihat panorama Bandung yang indah, kembang-kembang yang mekar, di kota seperti mangkuk yang terlungkup itu. Tapi firasat Sita memberikan sinyal yang lain.

Perjalanan ke tempat Sita menunggu taksi online tadi tinggal berapa kilo meter saja lagi.
Si driver menyapa Sita, “Neng, nginap di rumah Mat Kilau ya?”
Bukan main terperanjatnya Sita, “siapa sebenarnya lelaki ini”, Sita bergumam.
Bersebab Sita diam, si driver bertanya lagi, “bagaimana kalau kita makan siang dulu, supaya enak ngobrolnya. Jangan takut, saya tak berniat buruk padamu.”
Sita meyakini lelaki ini mengenalnya dan tak berniat jahat padanya. Kebetulan pula, perutnya terasa lapar. Dan ia ingin tahu siapa lelaki misterius ini.
“Ya, kita makan dulu, saya lapar”, kata Sita terus terang.

Si driver mengarahkan kenderaannya ke jalan Citarum, rumah makan Sunda ‘Alas Daun’.
Darah Sita berdesir, ia merasa mengenal lelaki driver online itu. Dia simpan kecurigaan itu hingga mereka duduk berhadapan di rumah makan tersebut.
“Kapan dinda tiba di Bandung”, tanya lelaki itu sambil membuka topi dan kacamatanya.
Sita nyaris berteriak gembira, orang yang dicarinya ada di depan matanya.
“Kanda Hang Mejin rupanya”, seru Sita sambil berdiri mendekati Hang Mejin. Mereka saling berpelukan, pelukan rindu yang suci.

Hidangan telah tersaji di meja, gurami bakar, tahu goreng, sayur asam dan lalapan lengkap dengan sambalnya.
Mereka makan dengan lahap. Sesekali bercerita tentang apa saja yang mereka ingat tentang Sukaraja dan Bohorok, kampung halaman di tanah melayu. Dan Hang Mejin bercerita hingga ia terdampar di tanah Pasundan ini.

“Ngomong-ngomong, apa kabar kak Maryam?”,”. Hang Mejin menerawang, kelihatan air matanya berlinang dan jatuh di meja makan itu.
Dipandang Sita dalam-dalam, ia kumpulkan kekuatan perasaannya, ia pun menutur, “Sebulan yang lalu, kanker payudara merenggut nyawanya, dinda.”
“Kenapa tak berkabar kanda?”.
“Kanda kalut, hanya Mat Kilau dan Tora yang kebetulan kami sama-sama di tanah Pasundan yang kanda kabari.”

Giliran Hang Mejin bertanya mengapa Sita mencarinya?,
Sita menjelaskan panjang lebar tentang apa yang dialaminya bersama Tan Tualang. Kecurigaan pada Mat Kilau yang gagal mempertahankan rumah tangganya. Ia menceritakan juga datang ke Bandung bersama Datuk Panglima Hitam dan Mat Kilau.

“Dinda bermaksud tinggal sementara di rumah kanda, bolehkah?.”
Hang Mejin terdiam sejenak memikirkan permohonan Sita.
Hang Mejin tak hendak mengecewakan Sita, apalagi alm ayah Sita sangat baik padanya.
“Boleh kali pun dinda, ada teman Mirna, ponakanmu di rumah. Dia satu-satunya putri kanda, masih di SMP kelas 2.”

Hang Mejin menuju rumahnya di Naripan, di tengah jalan Sita bertanya, “di mana tempat penjualan emas batangan kanda?”
“Kenapa dinda tanyakan itu?”
“Untuk bekal hidup di sini.”
Hang Mejin tak dapat melarang keinginan Sita, ia menjualkan emas batangan lima keping ukuran 100 gram.

“Kanda, dinda harap tak siapa pun yang tahu dari kerabat kita, dinda berada di rumah kanda.”
“Iya dinda, yakinlah itu.

Malam telah meninggi, Mat Kilau duduk gelisah di teras menunggu kedatangan Sita.
Lewat tengah malam, Kilau dan Panglima Hitam mengitari kota Bandung, mencari Sita tak jua ketemu.
Kilau menghubungi dengan handphone Tora dan Hang Mejin, mereka menjawab tidak tahu.
Azan subuh pun berkumandang, Kilau dan Panglima Hitam tak tidur sepicingpun.
“Jangan-jangan Sita bertemu Tualang dan mereka kembali ke Binjai”, kata Kilau.

Panglima Hitam berkata, “bisa saja demikian, karena Tengku Jurung ayah Tualang, mengabarkan pada atok minggu ini Tualang menikah. Esok kita pulang ke Binjai. Atok yakin, Sita baik-baik saja.”

Kilau terdiam dalam sunyi yang merah. Harapannya menyunting Sita seperti gagal. Dan yang lebih menyucuk hulu hatinya, gugatan cerai istrinya dikabulkan Hakim Pengadilan Agama.
“Oh, pucuk dicinta ulam pun hilang”, Kilau bergumam.

Malam itu Sita berdiskusi dengan Hang Mejin. Sita berenca membeli toko untuk berjualan pakaian muslim. Termasuk menjual pakaian-pakaian melayu dan kain songket.
Rencana itu didukung Hang Mejin.
Tam susah buat Hang Mejin mencari lokasi yang strategis.

Tiba-tiba handphone Hang Mejin berdering, Tengku jurung menghubunginya, menanyakan apakah ada berjumpa dengan Tan Tualang. Dan Tengku Jurung juga mengabarkan, tiga hari lagi Tualang menikah. Persiapan sudah rampung, tapi Tualang seperti ditelan bumi.

(*)

Bandung, September 2020,

tsi taura.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *