Cerita Mini (Cermin), (16) ‘Eksekutor Dari Tanah Melayu’

TANJUNG Pinang, 2004.
Angin laut berembus kencang. Dingin menyucuk raga.
Malam ini Tora diundang Narti, si angkasawati untuk datang ke ruang siarannya, RRI Tanjung Pinang, berlokasi di jalan Ahmad Yani. Ada acara pembacaan puisi.
Tora bersama Sulis dan Tirta Utomo, hadir sebelum siaran mengudara. Mereka disambut hangat Kepala RRI Tanjung Pinang, Widyawati didampingi Narti.

Setelah Tora dan stafnya duduk di ruangan Widyawati, Narti bergegas ke ruang siarannya.
Terdengar suara merdunya, menginformasi, “malam ini sungguh istimewa, kita kedatangan tamu salah seorang pejabat tinggi Tanjung Pinang dan seorang dosen dari tanah Pasundan. Sekejap lagi kita akan mendengarkan sebuah puisi berjudul, “untuk kau yang datang” yang akan dilantunkan oleh Nadya, dosen Unpad.

Bacaan Lainnya

Tora dan Tirta Utomo saling berpandangan. Sulis tersenyum dan berkata lembut, “reunian pak, asyik ini.”
Widyawati, Kepala RRI itu pura-pura tak mendengar. Ia tersenyum menawarkan menu yang terhidang untuk dicicipi.
Tora merasa dikerjai Narti. Tapi dia tenang, minta ijin pada Widyawati untuk merokok di ruangan yang ber-ac itu. Ternyata, Widyawati juga perokok.

Rasanya Tora ingin pamit, kursinya terasa panas, ia tak ingin mengimbah masa lalu. Tapi ia tak ingin mengecewakan Narti, yang telah bersusah payah menghadirkan dirinya dan Nadya.
“Bukankah untuk melihat masa depan harus melihat ke masa lalu? Walaupun cinta telah terkubur, tak eloklah menyakiti ruh cinta yang hadir karena permainan takdir”, kalimat-kalimat itu mengalir di hati Tora.

Tora merasa ada desakan batin agar ia tak lari dari kenyataan, tak meninggalkan ruangan hampa tersebut. “tapi apa yang harus kulakukan?”, Tora membatin.

“Selamat malam para pencinta acara ini, salam kangen buat seseorang yang kini berada di sini, ijinkan saya membaca sebuah puisi berjudul “untuk kau yang datang”, suara perempuan itu menggema ke hati Tora.
Tora sangat mengenal suara itu dan puisi tersebut adalah merupakan surat terakhir yang dikirim Tora pada pembaca puisi itu. Kemudiian Tora menghilang mengubur cintanya pada putri bangsawan tersebut.

Diam-diam Tora menyelesaikan perkuliahannya. Ia menggantikan ayahnya bekerja di Kejaksaan.
Puisi pun mengalir di bulan purnama itu, menjalar lamunan Tora ke masa silam:
tak kuasa mengubur rindu
katamu ke masa depan
lihatlah masa lalu
terpacak tonggak jejak langkah
meniti jembatan masa esok

perih jiwa sembilumu
menusuk angan
kupungkang saja segala harapan
untuk kau yang datang

laut padam
dengan apa kau datang
tongkang tak berdermaga

aku datang dengan cibiranmu
mematah anak tangga
tak kau semai benih cinta
masa yang kupak

kau mengintai di balik tingkap
hujan menguyup raga
ketika pintu kau rentap

jangan pandang ke belakang
rimba diriku

Tanpa terasa mata Tora berlinang, seperti menjemput masa lalu di depan gapura. Kenapa aku mesti di sini saat aku sudah melupakanmu, sesuai permintaan ayahmu.
Kini kenangan itu seperti rumput kering dicurah gerimis. Tapi Tora tetap saja tak mampu melumpuhkan kenangan bersama Nadya.

Lamunannya tersentak ketika Narti membawanya ke ruang siaran. Langkahnya terasa dibelenggu ke ruangan tersebut.
Ia terpana sejenak menatap perempuan yang ada di depannya. Perempuan itu bertambah cantik di luar dugaannya. Berlesung pipit, rambut mengitam kilau. Sorot matanya yang indah dan senyuman pernah tertebar di perladangan cinta mereka.

Nadya mendekat, mengulurkan jemari, berjabat salam. Entah siapa yang menggerakkan mereka berpelukan rindu. Terasa panas air mata Nadya menetes di pipi Tora.
Perlahan Tora melepas pelukan tersebut.

Narti, si adik Nadya bergegas keluar ruangan, seakan memberikan ruang waktu buat kakaknya melepas rindu.
Tora mengajak Nadya keluar ruangan, ia sadar tak elok menyalakan cinta yang sudah melayang jauh.
Semua sudah terlarang.
Busur panah takkan kembali ke belakang waktu.
Tersisa hanya persahabatan.

Nadya menutur, “maaf kanda takkan kuambil segores cintapun darimu, seperti aku pun tahu, tak ada relung cinta yang kau sisakan untuk aku bersemayam di sana”

Tora terdiam. Hanya satu jalan menghindari amuk asmara yang telah lama terkubur untuk tidak memercik api asmara yang baru.
Pamit dan menutup pintu.

(Binjai, 221020, tsi taura).

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *