(78) Cerpen Mini (Cermin) ‘Perempuan Di Bawah Rambung (1)’

tsi taura

AZAN magrib baru saja usai berkumandang di menara mesjid Istiqlal, Tora dan perempuan di bawah rambung itu menuju Blok M dan terus menelusuri daerah Kemang, tempat perempuan tersebut tinggal. Jalanan sunyi, malam mengguyur gerimis.
Rumah minimalis yang asri, berpagar tembok, di situlah perempuan itu merangkai mimpinya.

Tora menerima tawaran perempuan itu minum-minum dulu sambil ngobrol di beranda depan.
Kesempatan ini digunakan Tora untuk mengorek informasi siapa sebenarnya perempuan yang ia temukan di bawah rambung.

Bacaan Lainnya

“Saya tak punya waktu lama, dinda. Tolong ceritakan siapa dinda dan kenapa berada di rambung itu”, kata Tora.
“Dinda tak tahu siapa diri ini sebenarnya. Tak ingat apa-apa lagi, kecuali deru air yang menggulung. Terseok-seok di pinggiran hutan. Seperti ada orang tua berpakaian putih-putih membopong tubuh ini, meletakkannya di bawah pohon di mana dinda kanda temukan. Hanya itu yang dinda ingat”, kata perempuan itu dengan jujur.
Tora terkesima mendengar penuturannya.

“Alhamdulillah di dalam pesawat tadi dinda mampu mengingat beberapa hal, seperti tempat tinggal dinda. Dan merasa kita pernah ketemu di sebuah kantor di Blok M.”

Tora terperanjat mendengar ucapan tersebut.
“Tujuan apa dinda ke kantor tersebut?”, tanya Tora memancing ingatannya.
“Saya lupa kanda.”

“Sejak kita ketemu kemarin hingga kini ada sesuatu yang dinda rahasiakan. Lalu siapa nama dinda?”
Perempuan itu tersenyum, “maaf kanda, apakah nama dinda begitu penting bagi kanda? Dinda tak tahu kanda memberikan nama apa pada dinda ketika kanda membeli tiket pesawat tadi. Boleh dinda tahu, bagi dinda itu penting untuk komunikasi kita selanjutnya”, kata perempuan itu dengan sungguh-sungguh. Dia menatap dengan pandangan sayu ke wajah Tora, saat itu mereka duduk berhadapan.
Tora tak segera menjawab, diteguknya sisa teh manis yang disuguhkan perempuan itu. Dan dibakarnya sisa rokok yang tinggal sebatang.
Dalam hati dia berkata, “sepertinya perempuan ini penderita alzheimer, hilang ingatan dan kebingungan.”

“Adakah surat-surat seperti ijazah, sertifikat, STNK atau kartu nama di rumah ini yang bisa saya lihat?”.
Perempuan itu menggaruk kepalanya dan bertutur, “di rumah ini hanya ada piring dan gelas kanda.”
Tora seperti menghadapi benang kusut.
Naluri intelijennya mulai bekerja, ” saya mau ke toilet, boleh?”
Ia tersenyum, ” bolehlah, jika dilarang, ngompol pula kanda nanti”, katanya berguyon.

Tora segera bergegas, di sudut tingkap dekat kamar, di dinding, Tora melihat foto seorang perempuan cantik bersama dengan lelaki tua. Kaget Tora, ia mengenal lelaki itu. Disambar foto tersebut, disembunyikan di balik jaket yang dipakainya. Dan sebuah piagam anugerah sastra ditemukan jalan menuju ke dapur.
Tora kembali ke beranda depan.

“Dinda di sini dengan siapa?”
“Dengan jembalang”, kata perempuan itu dengan enteng,” Lalu dia menangis meratap kecil.
Tora semakin yakin jiwanya terganggu.

Malam semakin larut, Tora berinisiatif untuk membawa perempuan tersebut ke psikolog.
Malam itu juga Tora membujuk agar ia mau diajak Tora ke Bandung, untuk mengobati jiwanya yang terguncang.

Perempuan itu seperti kerbau dicucuk hidungnya. Mereka menembus malam dingin menuju tanah Pasundan. Lewat Purwakarta perempuan itu tertidur. Sesekali terdengar ia meracau, menyebut ayahku… “ayahku jangan bawa aku berjalan jauh.”
Tiba di Bandung hujan dan petir menyambut mereka di pintu pagar rumah kediaman Tora. (*)

Binjai, 260820,

tsi taura.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *