Sejarah Pidori di Tapanuli bagian Selatan (1)

Foto Iustras:i Sejarah Pidori di Tapanuli bagian Selatan. (ist)

*Oleh Budi Hatees

BISA jadi tak akan ada lagi generasi saat ini yang pernah mendengar kata “pidori”. Konon pula mengharapkan mereka memahami kata yang punya nilai sejarah dalam penyebaran agama Islam di wilayah Tapanuli bagian Selatan (Tabagsel). Kata ini juga punya kaitan erat dengan sejarah kebudayaan Batak di daerah yang pada masa kolonialisme Belanda masuk dalam wilayah Distrik Mandailing Ankola—bagian dari Keresidenan Tapanoeli.

Bacaan Lainnya
Foto Iustras:i Sejarah Pidori  di Tapanuli bagian Selatan. (ist)
Foto Iustras:i Sejarah Pidori di Tapanuli bagian Selatan. (ist)

Sejarah telah menenggelamkan kata “pidori” dalam lipatan-lipatan masa lalu yang tak perlu diingat dan diingatkan, seakan-akan sebuah tabu, takhayul, dan mitos yang bisa menyengsarakan hidup hari ini. Padahal segala yang berbau sejarah, segetir apapun hal itu pernah menoreh luka dalam diri, jangan pernah meninggalkan dan melupakannya.

Semasa hidupnya, Presiden Soekarno meninggalkan pesan dalam akronim “jasmerah”: “jangan melupakan sejarah”. Pesan itu mengeristal sebagai bagian dari politik nasionalisme Negara untuk mengenang jasa para founding father, yang memang akhirnya nyaris sebagian besar generasi muda negeri ini melupakan tokoh-tokoh pendiri Negara dengan berbagai alas an kepentingan politik.

Paruh abad ke-19, setiap orang di Tabagsel, sebelum kolonialime Belanda masuk, akan bersembunyi begitu mendengar kata “pidori” diteriakkan sambil memukul apa saja yang menimbulkan bunyi. Kata itu membawa ingatan pada bayang-bayang kematian yang bergentayangan, yang terasa begitu dekat, cepat, dan singkat. Kreek! Lalu ada daging yang tersayat, darah yang memuncrat, dan nyawa yang melayang.

Setidaknya, itulah yang ingin dilukiskan Basyral Hamidy Harahap, budayawan Mandailing–orang yang punya pengetahuan luas tentang sejarah kolonialisme Belanda di wilayah Keresidenan Tapanoeli — ketika ia menerbitkan buku Greget Tuanku Rao (2007). Buku itu bercerita tentang Tuanku Rao, sosok fiksi yang pernah muncul dalam novel fantasi berhasrat ilmiah yang ditulis Mangaraja Onggang Parlindungan (MPO) Siregar, Tuanku Rao: Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak 1816-1833.

Pidori adalah bahasa Batak, bahasa yang dipakai masyarakat Batak Angkola dan Mandailing–yang menyebar di wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan, Padanglawas, Padanglawas Utara, dan Mandailing-Natal–untuk menyebut padri. Kata “padri” bermakna harfiah sebagai “orang suci”, “orang yang memahami ajaran agama samawi”. “orang yang dihormati karena pengetahuan dan pemahamannya tentang nilai-nilai agama”. Tapi, bagi Basyarahal Hamidy Harahap, padri identik dengan kematian, yakni sepasukan laskar berkuda, berjubah putih, dan berserban, yang datang dari wilayah Minangkabau, khususnya daerah Rao.

Foto: Budi Hatees (ist)
Foto: Budi Hatees (ist)

Secara geografis, Rao—kini bagian dari Kabupaten Pasaman, Provinsi Sumatra Barat—berbatasan dengan wilayah Tabagsel. Secara antropologi, masyarakat yang tinggal di Pasaman merupakan penduduk yang migrasi dari Tabagsel karena factor ekonomi. Artinya, baik masyarakat Pasamana maupun Tabagsel memiliki hubungan kekerabatan, yang diikat dengan pertalian masyarakat marga.

Pidori yang dimaksud Basyarah Hamidy Harahap dalam Greget Tuanku Rao adalah orang Pasaman asal daerah Rao yang menganut ajaran Islam garis keras mazhab Hambali dan lebih dikenal saat ini sebagai wahabbi. Dengan pedang di tangan, laskar itu siap menebas apa saja, tak terkecuali manusia. Pasukan itu menyerang daerah Tabagsel, mulai dari Mandailing , Natal, Sipirok, sampai Padangbolak, konon secara membabi-buta. Penyerangan itu berlangsung dari tahun 1816 sampai 1833.

Basyral Hamidy Harahap mengklaim, selama penyerangan itu, kematian banyak diciptakan, penderitaan berkepanjangan bagi masyarakat di Tabagsel. Basyral Hamidy Harahap terkesan terlalu ingin menjadi monumen dari sejarah kepedihan manusia ketika ia menggembar-gemborkan fakta kekejaman yang ada dalam bukunya sebagai fakta-fakta baru yang luput dari pengamatan Mangaraja Onggang Parlindungan saat menulis dan menciptkan Tuanku Rao: Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak 1816-1833. Artinya, ia mendukung isi buku MPO Siregar, meskipun menilai pengamatan MPO Siregar atas sejarah padri memiliki kelemahan karena tidak memasukkan fakta yang lebih kejam.

Kita tak tahu persis apakah fakta sejarah kekejaman padre itu benar atau tidak. Sebab, setelah ratusan tahun berlalu sejak peristiwa kekejamana (holocaust) itu terjadi, nyaris tidak ditemukan bukti-bukti konkrit seperti ketika orang-orang menemukan kuburan massal dari kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Charles Taylor, bekas Presiden Liberia, ketika ia menjadi pemimpin pemberontak yang menggulingkan Presiden Samuel K. Doe pada 1989. Luka sejarah itu pun tidak tertinggal seperti para eksil yang menyimpan luka di dadanya terhadap rezim totaliter Orde Baru yang menghabisi orang-orang yang dituduh komunis di Indonesia pasca peristiwa G30S pada 1965.

Lantas, fakta apa yang sesungguhnya dimilik Basyaral Hamidy Harahap ketika mendeskriditkan padre, juga pejuang-pejuang agama Islam, itu. Secara keseluruhan, isi buku Greget Tuanku Rao—yang ditulis berangkat dari sosok fiksi Tuanku Rao ciptaan MPO Siregar—banyak mendaras dokumentasi yang diperoleh dari zaman Belanda, data-data berupa laporan para pejabat militer Hindia Belanda tentang situasi yang terjadi di daerah kolonisasi. Dari tarikh tahun dikumen itu dibuat, terutama yang ditulis oleh A.P. Godon saat masih controleur di wilayah Distrik Mandailing en Ankola, sekitar dekade 1850-1880-an. Artinya, ada yang tidak singkron dan terkesan dipaksakan, karena kolonialisme Belanda masuk ke wilayah Tabagsel setelah perlawanan Tuanku Imam Bonjol bisa diatasi. (bersambung/gr)

 

 

*Biografi Ringkas

BUDI HATEES, lahir sebagai Budi P. Hutasuhut di Sipirok, Tapanuli Selatan, pada 3 Juni 1972. Menulis karya cerpen, sajak, novel, dan esai-esai tentang masalah social dan kebudayaan yang dipublikasikan di Kompas, Koran Tempo, majalah Tempo, Horison, Media Indonesia, Republika, Suara Pembaruan, Koran Sindo, dan lain sebagainya.
Pernah bekerja sebagai dosen dan mengampu mata kuliah Ilmu Jurnalistik, Ilmu Komunikasi, dan penulisan kreatif di Universitas Lampung, Universitas Bandar Lampung, dan Universitas Saburai. Pernah bekerja sebagai wartawan dan menjadi konsultan media internal di lingkungan pemerintah daerah, lembaga Negara, dan sejumlah lembaga swasta hingga saat ini.

Kini menetap di Kota Bandar Lampung, terlibat dalam sejumlah penelitian tentang masalah social dan kebudayaan dalam program pemerintah-pemerintah daerah.

 

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *