Pandeminium, Presentasi Keaktoran Mamexandria, Mari Pulang

Teater Kantor

Mari pulang, marilah pulang…

Lagu Gelang Sipaku Gelang itu menutup pertunjukan presentase keaktoran Mamexandria yang terbungkus dalam Judul bersama menuju Portal ke 3, perjalanan teater Kantor Teater, Pandeminium (kekacauan).

Presentase ini merupakan pergelaran perdana dari hajatan Kantor Teater bertajuk “Syukuran Tubuh” Selama 3 hari sejak, Jumat, 2 Juli hingga 4 Juli 2021 di Inside Out Caffe Jalan Sei Tuan Medan Baru, Medan.

Pandeminium adalah semacam kekacauan atau kepanikan kecil yang terjadi pada diri seseorang. Kepanikan ini di representasikan oleh aktor pada tubuhnya yang bertatto dengan beberapa benda seperti pisau,  tali dan kawat.

Apa korelasi kawat, tali dan pisau dengan lagu Gelang Sipaku Gelang? Mungkinkah kita akan menemukan korelasi pada diksi diksi tersebut?

Dalam satu teks di FB Mamexandria di temukan kata, “Pulang ke Diri”. Pada konteks ini ditemukan kata pulang bisa dimaknai, beberapa objek. Seseorang yang tersesat, mungkin sebaiknya pulang ketimbang akan jauh lebih tersesat lagi.

Atau sebuah kematian? Kematian bagaimana yang dimaknai aktor? Atau kematian seperti apa?

Jadi pada presentasi keaktoran Mamexandria ini, ajakan pulang mungkin semacam pertobatan aktor yang sudah mengalami ketersesatan perjalanan. Dalam hal ini, kata pulang menjadi penting untuk dibicarakan.

Dalam konteks ke Indonesiaan kata pulang mengalami kesesuaian. Mamexandria bisa saja mengajak bangsa ini pulang ke pangkuan ibu pertiwi. Apakah ini berkorelasi dengan budaya bangsa yang semakin menipis?

Pertunjukan di mulai dengan aktor yang melakban seluruh kepalanya dengan lakban hitam. Maka wajahnya aktor juga terisolasi. Lalu aktor meminta penonton untuk menuliskan kata dan menempelkan nya di tubuh aktor.

Aktor membiarkan tubuhnya menerima kenyataan apa saja yang melekat. Semacam media sosial, tubuh menjadi tempat curhat apa saja. Uneg uneg, makian, info penting, doa, berantem, seabrek kenangan, poto dan lain-lain.

Dan itu menjadi tak berarti. Terabaikan, meski kata Mamek pada diskusi yang digelar seusai pertunjukan, bahwa tubuh sudah merespon dengan caranya sendiri dan bersyukur.

Mengapa aktor melakukan kekerasan fisik terhadap wajah dan kepalanya. Menyembunyikan segala aib. Atau lebih baik membatasi untuk melihat, berucap atau berfikir. Sebab berbeda dengan kepala, dada justru tidak ditutup. Hati dibiarkan terbuka.

Bahkan dengan mengisolasi kepala aktor mengajak agar kita pulang. Boleh jadi pulang dengan mengubur masa lalu, kenangan buruk, tidak melihat dan berucap. Pulang dengan hati saja. Oleh karenanya pada adegan berikutnya aktor membasuh kepalanya.

Membasuh kepala. Semacam berwudhuk. Inilah ritual syukuran tubuh. Bersuci sebelum pulang. Dalam konteks lain, kita diajak untuk mencuci otak agar tidak terlalu panik atau kacau.

Pada adegan yang lain aktor bermain dengan tali. Tali adalah alat untuk mengikat. Atau sesuatu yang menuntun agar tidak tersesat. Menuju ke satu arah. Namun bisa caos dan putus saat justru sedang terjadi harmonisasi. Pisau yang digerakkan ke tali menimbulkan suara. Seperti dawai Celo yang digesek. Indah namun putus di tengah keindahan itu.

Peristiwa teater terjadi begitu saja malam itu. Alam telah merajut gerak dan segala nilai-nilai di ruangan itu. Aktor yang mempresentasikan dirinya. Dengan sendirinya membentuk simponinya sendiri. Membentuk kenangannya sendiri, membentuk kisahnya sendiri.

Begitu juga penonton. Pada akhirnya pulang ke rumah masing-masing. Inilah yang dimaksud Manexandria sebagai pulang ke diri. Tentunya ke diri masing-masing. Sebab kelak kita juga akan ditanyai masing-masing.

Tetapi kemudian yang menjadi pertanyaan, kemana kita akan pulang? Dimana rumah kita? Ini pertanyaannya.

Begitulah mensyukuri tubuh. Agar tubuh dapat lebih tenang di tengah situasi yang kacau dan panik.

Setelah itu pertanyaan apa yang muncul dikepala kita?

Mamexandria, Kantor Teater

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *