Cerpen Tiga Paragraf (Pentigraf) (55) ‘Pramugari’

PESAWAT Garuda dari Jakarta baru saja mendarat di Bandara Kualanamu. Mendung menyelimuti langit bumi Kabupaten Deli Serdang itu. Awan menghitam. Angin laut berembus sejuk. Beberapa pramugari turun dari tangga pesawat. Berjalan menyeret koper kecil dengan wajah muram. Itulah penerbangan mereka terakhir dengan Garuda. Kontrak mereka tak diperpanjang. Dirumahkan sampai waktu yang tak bisa diprediksi. Resesi ekonomi dan perusahaan mengalami kerugian yang besar disebabkan manajemen yang kacau.
Seorang di antara mereka memilih pulang kampung menikmati alam pedesaan yang sudah lama tak dirasakannya. Dia ingin hidup bersama dengan ayahnya yang sudah menitik senja. Ibunya sudah lama meninggal dunia. Dia putri tunggal dalam usia yang tidak remaja lagi belum juga mau menikah. Seminggu yang lalu ayahnya berpesan untuk pulang kampung. Ayahnya berharap dia segera berumah tangga dengan pilihannya, jika belum ada pilihannya, si ayah berharap, putrinya itu mau menikah dengan pilihannya si ayah.
Dia tak langsung pulang ke rumah ayahnya, di pintu keluar dia membelok ke kanan mengajak rekan-rekannya ngopi di kantin kecil yang lagi sunyi.

Di sudut meja dekat kasir, seorang lelaki tinggi, berbadan sedang duduk dengan pandangan kosong, mengembus asap rokok dari bibirnya yang tipis. Sonya, salah seorang pramugari yang centil mengusik lamunan Kemala. “Mala, lihat lelaki itu, rasanya dia pernah neraktir kita makan di restoran pondok kelapa Jambi. Kalau tak salah dia Jaksa dan sering terbang dengan kita.” Kemala mengarah pandang ke lelaki tersebut. Kemala membenarkan, lelaki itu pernah neraktir mereka. Ramah dan humoris. Sonya kembali mengusik kemala bahwa lelaki itu cocok buat Kemala. Kemala mencubit paha Sonya. Sonya menjerit lembut kesakitan dicubit Kemala. Empat pramugari yang duduk di kantin itu tergelak, terkikik-kikik, hingga lelaki itu tersentak dari lamunannya. Tiba-tiba seorang lelaki lain mendekati Jaksa yang bernama Mat Kilau itu. Mat Kilau bangkit melangkah menuju mobil orang yang dijemputnya. Dia tak memedulikan pramugari tersebut. Mata Kemala tak lepas mengikuti langkah Mat Kilau.
Pandangan itu menjadi bahan olokan Sonya, “cinta akhirnya singgah di sini, di gerak langkahmu di bawah mendung”, kata Sonya pura-pura tak memandang Kemala. Putri melayu tersenyum dicagil Sonya.

Bacaan Lainnya

Mat Kilau meluncur cepat dengan mobil sportnya menembus malam yang baru jatuh. Gerimis menghiasi perjalanannya bersama Tora sahabatnya. Mereka menuju rumah Mat Kilau di daerah tak jauh dari simpang bangkatan Binjai.
Ayah Mat Kilau, Tengku Tualang Gayo menyambut gembira kedatangan Tengku Tora.
“Bagaimana keadaan gadis pilihan emak kau itu, Kilau?”, tanya Tengku Tualang Gayo. Kilau tahu ayah menyindirnya. Dia pun tergelak, “pak, perempuan itu hanya sekali hadir dalam mimpiku. Dia perempuan imajinerku.” Mendengar ucapan Kilau, Tora dan Tualang Gayo terkikik-kikik. Dan makcik Tora menghentikan Gelak itu, mengajak mereka makan malam. Hidangan khas melayu, gulai asam ikan jurung, anyang pakis, terhidangan dengan nasi yang hangat.
Dalam pertemuan itu Tualang Gayo menyelipkan harapan, “jadi kau Kilau belum memutuskan menolak Putri Sri Kemala, kan?”. Pak, biarlah Allah yang menentukan jodohku. Hujan dan angin di halaman menyimpakkan pohon-pohon tua. Si Pramugari kuyup di muka pagar rumah ayahnya.
“Kata petuah dulu, hujan membawa rejeki”, Tualang Gayo bergumam. (***)

Binjai, 210720
Tsi Taura.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *