Cerpen Tiga Paragraf (Pentigraf) (24) ‘Prahara Jalan Sunyi’

tasi taura

Resto TipTop di seputar Kesawan kota Medan malam ini tak seperti biasanya, sunyi hanya ada beberapa orang pengunjung yang duduk berjauhan, bermasker. Di sudut teras duduk Era Widyawati, perempuan muda berwajah lesu, memainkan sendok di gelas minumannya. Dia seperti menunggu seseorang dalam waktu yang lama belum tiba juga menemuinya. Malam semakin larut, langit mendung, udara terasa sejuk menusuk raga. Perempuan itu berdiri melihat ke arah jalan raya. Dia raih tasnya membayar menu yang terhidang habis. Dan bergegas ke sepeda motornya, sekejap hilang dari pandangan mata. Dia kembali ke rumahnya di Tanah Seribu Binjai. Di ranjang rumahnya ia bergumam,”tega kau menipuku di jalan sunyi. Kau harusnya melindungiku, bukan merubuhkan pagar yang kubangun belasan tahun.” Era menumpahkan air matanya, sesal yang takkan mengembalikan masa silam ke masa depan. Lelaki yang ditunggunya itu, Munir Leboy seorang dosen di perguruan swasta.

Orang tua Munir melamar Era dengan sangat terpaksa. Era dilamar seperti membeli Kucing dalam karung. Seminggu dari lamaran itu, Munir Leboy melukai hati Era, berpacaran dengan adik kelas Era. Era nyaris ambruk, cepat dia sadar, jodoh itu Allah yang mengatur, manusia sebatas perencana.
Orang tuanya sepakat membatalkan lamaran orang tua Munir Leboy. Era memutuskan meninggalkan kampung halamannya. “Kita tak berjodoh, biarkan aku pergi”, kata Era lewat pesan singkat pada Munir. Munir tertawa, menghina Era perempuan sial. Hati Era seperti diiris-iris, perih dan terluka parah. Dia tetap tegar, meninggalkan kampung halamannya menuju Jakarta. Seorang temannya di Sekolah Menengah Pertama, Tuti Lukman mengajaknya tinggal bersama di daerah Kemang. Tuti memiliki resto kecil menyaji Mie Aceh. Era memiliki resep penyedap kuliner tersebut, di kampung halamannya dia belajar dengan tetangganya, makcik Cut Dewi Rahma. Resto Tuti yang biasanya sedikit pengunjung, menjadi ramai sejak kedatangan Era. “Era, kau menghalau prahara jalan sunyiku. Aku bersyukur kau datang saat aku nyaris frustasi, hidup menjanda di kota yang keras ini”, kata Tuti pada Era. Era hanya tersenyum, bersyukur dalam sujudnya.

Bacaan Lainnya

Covid-19 dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) berimbas pada dagangan kuliner mereka. Tapi mereka tetap bertahan karena pembeli secara online dibenarkan penguasa.
Munir Leboy, mantan kekasih Era, mulai mengganggu ketenangan hidupnya. Pesan-pesan singkat yang menghina martabat Era diluncurkan. Era tak meladeninya. Tuti memberi semangat pada Era, “hidup ini seperti gema, apa yang dilakukannya padamu akan berbalik padanya.”
Tak lama kemudian, mantan guru Era mengabarkan, Munir Leboy, tercampak di jalan raya dengan mulut berbuih bersama pacarnya. Hasil visum menyimpulkan korban mati karena racun.
Lama Era terdiam, air matanya jatuh jua. “Siapa pembunuhnya?”, Era bergumam. Waktu Subuh pun berkumandang di atas langit Jakarta.

Bdg, 040520
Tsi taura

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *