Cerpen Tiga Paragraf (Pentigraf) (22) ‘Bergantung Di Ujung Kuku’

Kematian Aini Kalsum sangat memukul jiwa Mat Litak. Dia sering murung dan mengigau dalam tidurnya. Menyendiri, seolah bercakap sendiri. Dikuatkannya semangat, setiap hari dia mengantar jenazah korban Covid-19. Berkali-kali dia nyaris menabrak pembatas jalan. Udin Jepang, mantan penjahat daerah Jembatan Mampang, Jakarta Selatan yang tobat memilih profesi seperti Mat Litak, menjadi pendamping pengemudi ambulans, terpaksa mengambil alih kemudi. Tora Idris, teman akrab Mat Litak menyarankan agar Mat Litak jangan mengemudi mobil dulu sampai pikirannya tenang. Mat Litak mengabaikan saran Tora. Dia merasa iba melihat jenazah berlama-lama di ruang jenazah. Semakin hari, Mat Litak semakin stress, dia seperti dihantui bayangan Aini Kalsum, isterinya itu. Kondisinya seperti bergantung di ujung kuku. Tora Idris bergerak cepat, dia membawa Mat Litak ke Psikolog Ratih Pratiwi dan menemui Kiay Haji Ibra Umbul untuk membantu pemulihan jiwanya. Perlahan-lahan Mat Litak menemukan dirinya kembali. Dan dia memutuskan kembali ke kampung halamannya, menemani sang ayah yang semakin renta, seorang diri di usia senja.

Keputusan Mat Litak untuk pulang kampung didukung Tora Idris. Tora pun sudah mengajukan pensiun dini, ingin istirahat bersama keluarga di kampung yang tak jauh dari rumah Mat Litak. Dia ingin meneruskan bakatnya mencangkul kata-kata, membangkitkan seniman yang berbakat tapi tak tersalurkan kreasinya karena minimnya donatur.
Tetapi ada suatu hal yang ingin disampaikan Tora pada Mat Litak, mulut terasa terkunci, dia khawatir Mat Litak tersinggung. Batinnya berkecamuk, seperti buah simalakama. Saat mengantar Mat Litak ke terminal keberangkatan Bandara Soekarno-Hatta, dorongan untuk menyampaikan suatu amanah begitu kuat, namun lidahnya kelu. Ketika waktu boarding akan tiba, Mat Litak memeluk erat Tora, dia meneteskan air mata. Tora menghibur, “pantang preman menangis, kuatkan semangatmu, kau tidak sendiri di dunia ini. Oh, ya dengan berat hati aku harus menyampaikan padamu, Ratih sang psikolog yang merawatmu, miripkah dia dengan almh Aini Kalsum?”. Mat Litak hanya tersenyum dan melangkah menuju pesawat di parkir. Tora membalik tubuh keluar Bandara, melaju ke tanah Pasundan.

Bacaan Lainnya

Senja sudah luruh ketika pesawat yang ditumpangi Mat Litak mendarat di Bandara Kualanamu. Dia langsung menuju markas Hang Kilau di kaki gunung Leuser. Tak sabar lagi dia ingin melihat pembunuh ibunya yang masih disekap Hang Kilau.
Darahnya terasa menggelegak. Berkali-kali dia menggenggam tangannya hendak meremuk tulang-belulang si pembunuh ibunya itu. Berkali-kali dia beristigfar, meredam emosinya yang sudah memanas di ubun-ubunnya. Lewat tengah malam dia tiba di rumah Hang Kilau. Pintu masih terbuka, Hang Kilau menyambut sahabatnya itu dengan tenang. “Kau kemari hanya ingin melihat tampang pembunuh ibumu dan menghabisinya dengan tanganmu sendiri, untuk memuaskan hati yang dirasuk setan?”, tanya Hang Kilau. Mat Litak terdiam di malam sunyi itu. Dia memandang tajam wajah Hang Kilau. “Tidak, aku menuruti pesan Tora Idris, biarlah hukum menyelesaikannya. Serahkan dia ke pihak yang berwajib. Sekarang aku mau tidur,” kata Mat Litak sembari berbaring di lantai kayu yang sejuk.
Hang Kilau tercengang, bersyukur sahabatnya itu memahami takdir.

Bdg, 020520
Tsi taura

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *