Cerpen Tiga Paragraf (Pentigraf) (19) ‘Bulan Bertasbih’

tsi taura

Menjelang senja beduk berbuka, Langit menghitam, petir menyalak, kilat menyambar-menyambar. Tan Bima yang masih dalam perjalanan dari kampung sebelah menancap gas sepeda motornya. Mengejar waktu berbuka bersama keluarga yang sudah lama dia tinggalkan karena wabah covid-19. Hampir sebulan dia berkurung di tanah Pasundan. Sebelum larangan mudik diberlakukan dia mencuri start mudik.
Hujan mencurah, dia membelokkan kenderaannya ke sebuah rumah yang memiliki kedai sampah. Di situ dia berteduh. Waktu berbuka menunggu hitungan menit saja lagi. Sebuah sedan putih memasuki halaman rumah tempat dia berteduh. Si pengemudi membuka kaca mobil, memerintahkan Tan Bima masuk ke dalam rumahnya. Semula Tan Bima sungkan, tapi karena berulang kali diajak singgah, Tan Bima sambil berlari menuju teras dan duduk di situ dengan raga menggigir.

Pemilik rumah menghampirinya, “anda muslim dan berpuasa?.”
Tan Bima mengangguk, pemilik rumah bernama Karto Kudus mengajak Tan Bima masuk ke ruang tamunya. Tak berapa lama kemudian suara azan menggema merdu. “Batalkan puasamu dulu, dik. Kami tidak berpuasa, penganut advent hari ketujuh. Di meja tamu terhidang teh manis dan kue-kue. Tan Bima mencicipinya. Karto Kudus menuju kamarnya, kembali lagi membawa sajadah menyilakan Tan Bima Shalat. Karto Kudus menggeser kursi tamunya dan ketika dia mengambil Salib yang tergantung di dinding, Tan Bima mencegahnya, “Bagimu agamamu, bagikulah agamaku. Hormatilah Tuhanmu seperti abang menghormati tamu.” Karto tersenyum, dia lalu menunjukkan arah kiblat. Tan Bima terharu, tak terasa air matanya jatuh berlinang. Pengalamannya di rumah yang mengaku muslim saja, dia selalu tak dilayani seperti layanan yang non muslim ini. Seusai shalat, anaknya semata wayang, putri memberi isyarat pada ayahnya, hidangan makan malam telah tersedia. Karto Kudus yang duda itu mengajak Tan Bima makan bersama. Tan Bima semula menolak. Karto menjelaskan mereka adalah vegatarian yang ketat. Tan Bima memenuhi ajakan tuan rumah.

Bacaan Lainnya

Mereka makan bertiga dengan tertib, Karto dan putrinya berdoa dulu sebelum menyuap makanan. Karto baru menyuap beberapa suapan, memegang dadanya, badannya dingin. Putrinya menginfokan ayahnya penderita jantung. Segera Tan Bima dan putrinya bernama Elisabet membawa Karto Kudus ke rumah sakit.
Keadaan Karto Kudus sangat kritis. Tan Bima segera shalat isya. Dia berdoa untuk kesembuhan Karto Kudus.
Seusai shalat, berdoa dan berzikir, Tan Bima kembali ke ruang rawat Karto.
Tuhan mendengar doanya, Karto siuman. Saat dia sadar Karto memanggil-manggil nama Tan Bima. Tan Bima mengusap-usap Kepala Karto Kudus. Hujan di luar telah reda, Tan Bima pamit pulang. Karto Kudus dan putrinya Elisabet melambai tangan. Dokter yang menangani Karto Kudus seorang muslim membatin, “Bulan bertasbih, bulan tak membedakan siapa yang akan disinari dalam gelap.” Karto pun tertidur dalam malam yang semakin larut.

Bdg, 280420
Tsi taura.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *