Cerpen Tiga Paragraf (Pentigraf) (11) ‘Cinta Sebatang Ilalang’

tsi taura

Lelaki itu mengenderai sepeda motor, bermasker, bersarung tangan, masuk kampung ke luar kampung, dia memilih kampung yang rata-rata penduduknya berada di bawah garis kemiskinan. Antara rumah yang satu dengan yang lain berjarak relatif jauh. Rumah papan tak berwarna, beratap rumbia. Ada juga rumah dari bangunan bambu. Biar begitu, lingkungannya bersih. Pintu rumah mereka selalu terbuka, ramah, hidup rukun damai. Penduduknya semakin menderita dengan dampak covid-19. Lelaki tersebut menyinggahi rumah-rumah tua dan ringkih, memberi bantuan setara dengan jatah yang diberikan pemerintah daerah kepada orang-orang terdampak virus corona. Di kampung itu tak ada yang mengenalnya, termasuk tetangganya tak ada yang tahu apa pekerjaannya. Tapi dia sangat disegani dalam lingkungan gaulnya, selalu turun dalam kegiatan sosial. Setelah memberi dia pun pergi.

Hampir semua rumah di kampung sebelah tersebut disinggahinya, lelah merayap raganya. Dia berhenti di warung kopi yang sangat sederhana, pengunjungnya pun sepi, dari pagi hingga lewat waktu ashar, hanya lelaki itu yang singgah meneguk kopi dan gorengan dingin. Tiba-tiba lelaki itu merasa pusing, gelap di sekelilingnya, ia pun tak sadar diri. Heboh warga kampung itu berdatangan ke warung kopi. Ketua RT melarikannya ke puskesmas terdekat.
Lelaki itu positip terinfeksi virus corona. Dia dimasukkan ke ruang isolasi. Ketua RT dan lingkungan kampung sebelah setiap malam berdoa bersama untuk kesembuhan lelaki tersebut.

Bacaan Lainnya

Tiga minggu di ruang isolasi, dia dinyatakan sembuh dan diijinkan pulang. Dia kaget kepulangannya disambut warga kampung sebelah dengan suka cita, terutama kampung yang terakhir disinggahinya, berduyun-duyun menyambutnya dengan iringan shalawat nabi. Ia sangat terharu, dengan terisak ia mengaku dirinya hanyalah sebatang ilalang, di tengah rumput-rumput yang subur. Inilah cinta sebatang ilalang. Tetangganya pada menunduk karena semula mereka sepakat hendak mengusir lelaki itu dari lingkungannya karena takut tertular covid-19. Tersentuh hati mereka, orang kampung lain saja dengan ikhlas menyambut lelaki itu, kenapa tetangga tega membuangnya. Hidup bukan siapa dirimu, tapi hidup adalah kesetiaan yang tak membiarkan sesamanya dalam kelumpuhan. (***)

Bdg, 200420
tsi taura

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *