Cerpen Mini (Cermin) (68) ‘Jejak Tak Bertapak’

HARI itu, pertemuan Sonya dengan Mat Kilau tak terelakan, dalam sebuah pesta perkawinan adat melayu kerabat mereka di Tomuria Hall, kota rambutan. Mat Kilau dan Paulina datang lebih dahulu, duduk di lingkaran Vip. Tora dan Marissa tak menghadiri undangan tersebut karena umroh ke tanah suci.

Alunan musik melayu menyelusup telinga, diiringi beberapa penari putri melayu. Ada juga pembacaan puisi sebagai tanda orang tua mempelai perempuan seorang penyair. Penyair kondang Medan, Tanjung Balai Asahan, Deli Serdang, Binjai, Tanjung Pura hadir dalam perhelatan tersebut. Tiba-tiba panitia penerima tamu berjalan ceria dengan seorang pemuda berpakaian teluk belanga lengkap, di sampingnya seorang putri berkebaya, berkain tenunan batu bara. Dia melempar senyuman kepada undangan yang telah hadir lebih dahulu. Mereka seperti pengantin yang hendak naik pelaminan saat itu.

Bacaan Lainnya

Pembawa acara pun membanyol, “selamat datang penyair kita Sonya Zahra Sofi bersama pujaan hatinya Tan Bima, pengusaha muda yang sukses. Spontan hadirin bertepuk tangan terutama rekan-rekan penyair Sonya.
Gemuruh dada Mat Kilau, seperti ombak yang tak pernah diam. Keringatnya mencucur, duduk terasa berduri. Sonya begitu memukau hari itu. Tak terlukis dengan kata-kata. Kilau ingin pulang lebih dini, tapi dia tepis kecengengan tersebut.

Sonya tidak langsung duduk, dia naik panggung bersama Tan Bima. Tan Bima menggesek biola, Sonya pun menghentak gedung. Hadiran senyap menikmati diksi-diksi yang mengalir dari puisi ciptaan ayah Tan Bima, “Pengantin Kabut Laut”
Kegalauan Mat Kilau terbaca istrinya, Paulina. “Tenang saja, bang. Kan kesalahan ada padamu, bukan pada orang yang kau terlantarkan. Aku salut suaranya begitu menusuk kalbu.”

Permainan biola yang menggetar jiwa seakan menyayat-nyayat kenangan Mat Kilau di masa lalu.
Turun dari panggung mereka disongsong makcik Umi Kalsum, Datuk Penglima Hitam dan Tengku Husein Petir. Mereka diantar panita duduk tak jauh dari Mat Kilau. Mengikuti adat, Mat Kilau menyeret langkah menyalami atok dan gurunya, Husein Petir dan Datuk Panglima Hitam. Mereka menepis tangan Mat Kilau. Umi Kalsum membuang muka. Sonya mengusik dengan kenakalannya, bersandar di bahu Tan Bima, tak lupa dia memainkan mata dan bibirnya menyuntik hulu hati Mat Kilau.

“Gawat, aku telah dibuang dalam keluarga. Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna”, Mat Kilau bicara pada dirinya sendiri.
Sonya dan Mat Kilau dalam suasana hati yang berbeda. Sonya mohon izin pada tok Husein melangkah ke meja Mat Kilau. Di meja tersebut tersisa satu tempat duduk.
Sonya pun berkicau merdu, “sejauh-jauh bangau terbang, akan kembali ke kubangannya. Kapan abang datang? Inikah istri abang, kenalkanlah padaku, setidaknya aku bisa mengucapkan selamat menempuh hidup baru.”

Mat Kilau tersenyum getir dan bertutur, “sudahlah Sonya, nasi yang kita genggam saja bisa berimah, apalagi perjodohan anak manusia, di kamar pengantin pun bisa bubar.”

Sonya melempar tutur, “Bukan perpisahan yang mengganjal pikiranku, tapi perubahan karaktermu. Aku tak melihat dirimu di cermin yang normal.”
Paulina, istri Mat Kilau menunjukkan kearifannya, dia tak nimbrung dalam dialog tersebut.

“Kilau, walau kita nikah siri, jatuhkanlah talak buatku, aku mau menikah dalam waktu dekat.”
Gayung bersambut kata berjawab, setengah berbisik, Kilau menjatuhkan talak satu….dua… dan tiga, disaksikan Paulina.

Sonya menyalami Kilau dan Paulina di ujung pesta itu.
Di luar hujan turun sangat lebat, Sonya mengajak Umi Kalsum pulang. Sedangkan Husein Petir dan Datuk Panglima Hitam pulang lebih dahulu. Tan Bima memayungi Sonya dalam lebatnya hujan. Sonya mendekap mesra kekasihnya.

Di sudut gedung sepasang mata mengurai sesal. “Siapakah lelaki yang memayungi Sonya dengan kemesraan hujan mencurah deras itu???”, Kilau bergumam. (***)

Binjai, 110820
Tsi Taura

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *