Cerpen Mini (Cermin) (67) ‘Kabut Rumah Cinta’

MAT Kilau berangsur berubah kembali pikirannya. Dia mulai tenang, jiwanya mulai meretas kegelapan. Dia mulai rajin ke mesjid di waktu subuh bersama istrinya. Shalat malam mulai selalu dikerjakannya. Dia seperti menemukan dunianya yang hilang. Alam sadarnya mulai berfungsi normal. Ingatannya pada sosok Sri Kumala tak lagi mengganggu pikirannya. Bayangan itu seakan lenyap dihantam cahaya baru yang mampu menetralisir ingatannya ke masa lalu, terutama bayangan Sri Kumala.

Perubahan itu terjadi sejak dia pindah tugas ke Tanjung Pinang, kepulauan Riau. Di sana dia bertemu dengan Datuk Umbul Panglima Sengat. Datuk itulah yang menghalau ketidaknormalan pikiran Mat Kilau. Dia kembali bertutur lembut, santun dan suka membantu siapa saja. Ingatannya pada Sonya, yang pernah dinikahinya ketika ayahnya meninggal dunia, pelan-pelan merayap alam sadarnya.

Bacaan Lainnya

Hubungan Sonya dan Tan Bima semakin mesra. Sonya atas saran Tan Bima menggugat cerai Mat Kilau. Tora yang sudah di puncak karir mulai bertugas di ibu kota, tepatnya kawasan Blok-M, Jakarta Selatan. Dari Tora Sonya tahu domisili Mat Kilau.

“Bang, aku mau menggugat cerai Kilau, tiga tahun lebih aku dalam penantian yang sia-sia, seperti perahu tak berdayung. Tak berkayuh. Perahu itu terombang-ambing dilanda ombak.
“Sonya, apa yang hendak kau gugat? Perceraian? Kalian nikah siri, nikah yang tak tercatat. Kau layangkan saja surat pisah padanya. Dan secara hukum negara tak ada halangan buatmu untuk menikah lagi.
Bolehkah abang tahu apakah kau sudah menemukan pilihanmu untuk berumah tangga?”

Sonya tersipu, bibirnya terkatup untuk menjawab jujur pada Tora. Pembicaraan itu berlangsung di ruang perpustakaan rumah tok Tualang Petir. Mereka duduk berhadapan di meja baca.

“Sonya, sudah tahukah kau Kilau telah menikah lagi?.”
“Tahu, bang, tapi aku tak tahu siapa perempuan yang mampu menaklukkan hati Kilau”, jawab Sonya.

“Apa yang harus abang dengar darimu tentang perkawinan itu?”, tanya Tora.
“Jawabnya bisa abang tanya pada kak Marissa, bagaimana perasaannya jika dia mengalami nasib yang sama seperti aku?”, jawab Marissa setenang telaga di bawah bukit.

Tora terbahak, Sonya tergelak. “Wow, manisnya kau Sonya, tertawa begitu. Seperti cahaya berlian hitam di etalase pameran batu mulia”, Tora bicara dengan dirinya sendiri.

Matahari baru saja terbit di ujung pelabuhan Sri Bintan Pura. Kilau sudah berada di kantin pelabuhan itu. Melahap sarapan pagi dan secangkir kopi yang harum. Tiba-tiba dia teringat amplop surat dari Sonya yang belum dibacanya sejak kemarin siang. Dibukanya tasnya, mengeluarkan surat tersebut.
“Kilau, kau telah menemukan pelabuhan hatimu. Kau telah menyerak kabut di rumah cinta kita. Izinkan aku berlabuh di pelabuhan lain. Sejak detik ini, anggaplah kita tak pernah ada dalam rumah cinta.
Sonya.”

Kilau setelah membaca surat itu, seperti tersadar dari mimpi buruk. Dengan gontai dia melangkah naik ke kapal menuju punggur. Dia berniat ke makam ayahnya. Dan memaklumi surat pendek Sonya. Dia ingin memulai hidup baru bersama istrinya, Paulina yang berprofesi sama dengannya. Dan Kilau benar-benar telah melupakan kenangan lama. Dia memulai dengan sesuatu yang baru.

Seperti Kilau, Sonya telah menemukan dirinya yang hilang di rumah cintanya sendiri. Harapan barunya Tan Bima. Tan Bima telah menyelesaikan pendidikan doktor hukumnya. Dia berprofesi sebagai advokat. Akhirnya Marissa dan Tora tahu hubungan putranya dengan Sonya. Mereka saling berpandangan, berpikir, bermusyawarah dengan hati yang bening.

Pada Sonya Marissa berkata, “pikir itu pelita hati”. Pada Tan Bima, Tora bertutur, “perkawinan itu ibarat masuk kandang, sudah masuk mau keluar.”

Sonya dan Bima pamit ke rumah Datuk Panglima Hitam, sebelum memutuskan langkah yang direstui dan diridhoi Allah. Mereka sepertinya sudah padu membangun rumah cinta yang penuh kabut. (***)

Binjai, 080820
Tsi Taura.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *