Cerpen Mini (Cermin) (66) ‘Pengantin Perawan’

LELAKI itu berjaket hitam, berkaca mata gelap, bercelana levis pudar berjalan santai di selasar rumah sakit swasta yang terletak di jalan Sisingamangaraja, tak jauh dari jalan Pandu Medan. Dia menuju ruang rawat inap berlian 1 di lantai dasar.
Dia berhenti sejenak di ruang jaga perawat menanyakan nama pasien yang dicarinya. Dengan ramah si perawat mengantarkan lelaki tersebut ke kamar rawat pasien yang dicarinya.

“Ini ruangannya bang”, ujar perawat sambil melempar senyum. Lelaki itu juga tersenyum mengirim kata, “terima kasih ya…”.
Lelaki itu mendorong pintu yang tertutup, tak ada siapa-siapa yang menemani si pasien. Dia mendekati pasien yang tertidur lelap dengan tangan diinfus. Dia ambilnya bangku, dan duduk di sisi kepala pasien. Ditatapnya, wajah yang pucat tapi memancarkan pesona. Gemuruh lembut menyentuh jantungnya.

Bacaan Lainnya

Tiba-tiba pintu terkuak, muncul seorang perempuan separuh baya menyapa lelaki itu, “sudah lama kau datang, nak”, tanya perempuan itu. “Setengah jam lah makcik. Kok nggak ada yang jaga di sini makcik. “Makcik yang jaga, tadi makcik shalat, nak.”
“Oh, apa kata dokter sakitnya?”. “Nunggu hasil lab, nak, tadi pagi darahnya diambil.”

Keringat di dahi pasien itu meleleh, dengan tisue lembut lelaki itu menyapu keringat tersebut. Pesona si pasien semakin menyusup relung hati lelaki itu. Dengan spontan dia mengusap-usap rambut si pasien dengan penuh kasih sayang, ibanya luruh dan lelaki itu bergumam, “Oh, kapal elok tak berdermaga.”

Pelan-pelan pasien menggeliatkan tubuhnya, membuka matanya. Dia seakan tak percaya berada di rumah sakit ini. Dia menatap ke sekeling ruangan, matanya beradu lembut dengan lelaki berjaket itu. Lelaki itu tersenyum, spontan dia memegang tangan lelaki yang ada di sampingnya dan menutur lembut, “Bima…….”.
“Ya Sonya, aku datang dengan hatiku, bukan dengan perahu yang bocor.” Sonya tergelak, makcik Umi Kalsum mendehem dan berkata, “ayah dan anak sama jagonya berkata-kata”. Tan Bima tersenyum.

Dokter Putri Setia masuk memeriksa Sonya. Dia tersenyum, ” hasil lab-nya bagus, boleh pulang ini hari Sonya. “Jangan banyak pikiran, anda hanya kelelahan”, kata dr Putri Setia. Ketika berbalik matanya tertubruk pelan dengan cahaya mata Tan Bima. Tan Bima tertunduk, seakan mata itu penuh misteri. Dan dokter itu berlalu ke kamar pasien yang lain.

Suster mencabut infus di tangan Sonya. Makcik Umi Kalsum mengemasi barang-barang, pakaian Sonya dan lainnya. Tan Bima membantu. Sonya dibantu perawat turun dari ranjang menuju toilet.

Mat Kilau tidak tahu kalau selama ini Sonya tinggal di rumah ayahnya bersama dengan makcik Kalsum. Saat Sonya dirawat di rumah sakit, Mat Kilau datang bersama seorang perempuan ke rumah ayahnya itu. Dia disembur api oleh atoknya, Tengku Tualang Petir, “hambus kau Kilau, jangan lagi kau kemari, ini rumah sudah Milik Sonya.” Mat Kilau lesu di muka pintu. Dia berbalik arah dengan perempuan yang baru dinikahinya.

Tan Bima memegang tangan Sonya menelusuri selasar rumah sakit itu. Umi Kalsum sangat berbahagia dengan kemesraan yang dilihatnya. Sonya pun ceria hingga mereka memasuki mobil Tan Bima.

“Bima, aku rindu danau, bawalah aku pergi…”, kata Sonya di dalam mobil sebelum bergerak.

“Sonya, tunggulah kau sehat betul, yakinlah, Bima bukan hanya membawamu ke danau, tetapi akan membawamu….”, Umi Kalsum tak meneruskan kalimat tersebut. Mobil pun bergerak, Sonya mengejar kata yang terpenggal di bibir makcik Kalsum.

Umi Kalsum memeluk Sonya dengan penuh kasih sayang, seperti pelukan ibu pada putrinya dalam rindu yang memuncak. Tan Bima hanya tersenyum, dalam hati dia berkata, “semoga ayah dan ibu merestui kami.”

Umi Kalsum berbincang-bincang dengan Tualang Petir. Tualang Petir dengan suara yang hampir tak terdengar bercerita tentang Mat Kilau datang bersama istrinya. “Istrinya?”, tanya Umi Kalsum.
“Iya, dia mengenalkan padaku, seorang perempuan sebagai istrinya. Kuusir”, kata Tualang Petir denga muka merah padam.

“Jangan berita tahu Sonya, yah, nanti jadi pikirannya lagi”, kata Umi Kalsum.
Tualang Petir mengangguk. Tiba-tiba Sonya muncul menyalami Tualang Petir. Direngkuhnya tubuh Sonya, didekapnya, dia pun meratap.”

Sonya menenangkan atok Mat Kilau, dibawanya duduk. Jantungnya berdegup mulutnya seperti terkunci. Ditenangkannya pikiran, dan dia bertutur lembut:
“Tok, aku sudah tahu semua. Biarlah aku menjadi pengantin yang perawan sepanjang masa,” kata Sonya.

Tan Bima muncul, dan duduk di samping Tualang Petir.
Umi Kalsum memberi syarat pada Tualang Petir. Cepat ditanggapi Tualang Petir. Dia berdiri, memegang tangan Sonya dan Bima, “Sonya, Bima, di ujung waktuku ini, atok berharap, wujudkanlah kerinduan atok…”.

Bima memegang erat tangan Sonya dan mereka berikrar mewujud rindu tok Tualang. “Tapi bagaimana dengan ayah dan ibu?”, Bima bergumam. Senja mulai berkabut di ujung jalan Bima dan Sonya menembus kabut tanah leluhur melayu. (***)


Binjai, 070820
Tsi Taura

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *