Cerpen Mini (Cermin) (62) ‘Petualangan Terakhir’

TEPAT jam 08.00 Wib pesawat yang ditumpangi Mat Kilau mendarat di Bandara Polonia Medan. Mereka berpisah di sini. Mat Kilau dijemput Tengku Tora melaju ke arah Binjai, kota Rambutan itu. Lydia menuju arah Kota Matsum, rumah orang tuanya, di jalan Puri, yang didominasi orang melayu dan Minang.

Sepanjang jalan menuju Binjai Tora berdiam diri saja. Wajahnya kusam. Sepatahpun dia tak menjawab pertanyaan Mat Kilau, “apa yang terjadi Tora, kenapa kau diam saja. Adakah salahku yang tak berampun padamu?”, tanya Mat Kilau.
Tora membisu dan semakin melaju di jalan raya yang masih sepi.

Bacaan Lainnya

Mobil Tora berhenti tepat di depan rumah Mat Kilau. Papan bunga duka cita berjejer panjang, di kiri kanan jalan. Mat Kilau turun dengan langkah berat, menyalami pelayat satu persatu. Baru dia tahu ayahnya sudah tiada. Matanya kuyup tapi dia masih kuat tak meratap, meracau kata.

Dari dapur, makciknya Umi Kalsum menyerahkan sepucuk surat buat Mat Kilau. Surat amanah ayahnya. Gemetar dia menerima surat itu. Dibukanya, hatinya melawan untuk melaksanakan amanah tersebut.

Seusai membaca surat itu, dia menemui gurunya, Datuk Panglima Hitam. Dia minta nasihat apa yang dia harus lakukan. Datuk Hitam memanggil Tora dan atok Mat Kilau, Tengku Husein Petir. Sikap bijaksana sang Datuk Hitam, melahirkan kesimpulan, Mat Kilau harus melaksanakan amanah ayahnya.
Mat Kilau menyanggah lembut, “bagaimana saya bisa menikahi perempuan yang tidak saya cintai?”.

Datuk Hitam menenangkan amuk pikiran Mat Kilau seperti ombak yang rendah menenggelamkan kapal yang penuh penumpang. “Cinta itu akan lahir pada saat kau memiliki keikhlasan. Jangan menyerah sebelum kau membuka sarung pedangmu.”
Suara itu seperti bergemuruh, meluluh keraguan Mat Kilau.

Sejurus kemudian Mat Kilau tetap saja berusaha mengelak amanah ayahnya itu. Dia meminta pertimbangan atoknya lagi, Tengku Husein Petir namun atoknya tetap berpendirian seperti semula, sependapat dengan Datuk Hitam. Mat Kilau berlalu menemui makciknya, dia menumpahkan air mata di pangkuan makciknya itu.

“Kilau, ikutilah amanah itu, kaukan merasakan betapa sayangnya ayahmu padamu. Tegakah ponakan makcik tak mengabulkan saat tubuhnya telah terbujur kaku?”.
Mat Kilau akhirnya bersedia melaksanakan amanah tersebut.

Tak diduga Mat Kilau bahwa Paulina dan Lydia hadir di rumah duka. Keduanya menuju dapur berbaur dengan makcik Mat Kilau, Umi Kalsum. Mat Kilau mencari ayah almh Sri Kumala. Dia menemukannya di sudut tenda pelayat. Dia mencium tangan dan ngobrol sekejap. Ayah Sri Kumala merestui amanah ayah Mat Kilau. Mereka berpelukan, air mata tak terbendung. Adegan itu disaksikan Paulina dan Lydia. Kedua perempuan tersebut pun memberikan semangat agar Mat Kilau melaksanakan amanah si ayah.

Lydia memegang tangan kiri Mat Kilau, Paulina memegang tangan kanan menuntun orang yang mereka cintai dalam warna yang berbeda masuk ke tempat si ayah direbahkan.
Dalam hati kedua perempuan tersebut bertanya, “siapa perempuan yang beruntung tersebut, beruntung mendapatkan lelaki yang memiliki kharisma, santun, ramah dan mengamalkan kearifan lokal yang kental.

Mat Kilau duduk di sisi jenazah ayahnya dan diapit oleh dua perempuan yang pernah mengisi kehampaan hidupnya membuat Mat Kilau menjadi tak tenang. Terutama Lydia, type perempuan idamannya. Semua rubuh dilantak adat yang kukuh.

“Jenazah harus segera dimakamkan sementara persiapan mewujudkan amanah ayahku belum dimulai. Aku harus segera meminta mereka melaksanakan amanah itu.” Dia lalu berdiri berbisik pada atoknya, ayah pesan tok, jika dia meninggal segera dimakamkan.”

Tuan kadhi dan saksi serta wali nikah sudah duduk dengan wajah yang kuyu. Dan dari dapur muncul Sonya dengan gaun sederhana yang menunjukkan duka yang dalam. Mat Kilau tergagap, kapan Sonya datang karena tadi pagi dia menelpon, terbang ke Batam.

Lamunan Mat Kilau buyar saat tuan kadhi menyapanya, “kita mulai ya Mat Kilau?.” Mat Kilau hanya mengangguk lemah. Sekali ucap, nikahpun disahkan oleh para saksi.

Tiba-tiba raga Mat Kilau lemah, lemah sekali, tubuhnya dingin, berkeringat. Dan dia terkulai di lantai. Dengan sigap Datuk Hitam membopong tubuh Mat Kilau ke kamar tidurnya. Dokter Lydia segera bertindak, di sampingnya Paulina sangat cemas melihat kondisi Mat Kilau. Dia baru tenang ketika dokter Lydia mengatakan kondisi Mat Kilau tak mengkhawatirkan. Dia hanya kelelahan, lelah pikiran. Dengan lembut Lydia menyapu keringat Mat Kilau dengan sapu tangannya. Sonya tahu diri, dia tak ikut masuk ke kamar melihat kondisi suaminya. Dia memberikan kenangan terakhir buat Lydia dan Paulina melepas amuk rindu. Dia hanya berdiri di depan pintu kamar dengan pandangan penuh iba.

Mat Kilau sadar kembali, Lydia menuangkan teh manis ke mulut Mat Kilau. Mat Kilau menatap Lydia, Lydia tersenyum. Senyum itu nyaris merubuhkan benteng amanah itu.

“Maafkan aku Lydia, Paulina…”. Lydia mengusap ubun-ubunnya. Paulina tersenyum tipis dan menitik air mata. Jenazah pun dimakamkan setelah dimandikan dan dishalatkan.

Di tepi makam Tora membisikan ke Mat Kilau, “petualangan pun berakhir.” Mat Kilau tak menjawab, Sonya tak hadir di pemakaman. Hanya Lydia dan Sonya menghapus harapan. “Kita tak berjodoh di sini”, kata Paulina pada Lydia. Mendungpun menitik gerimis. (***)


Binjai, Agustus 2020
Tsi taura

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *