Cerita Mini (Cermin) (70) ‘Angan Terhalang Takdir (2)’

AZAN MAGRIB baru saja berhenti ketika Raka dan Ningrum menyelusuri tepian sungai di balik bukit kecil. Dulu, tepian ini sunyi sepi, rumah hanya ada satu-dua berjauhan. Cahaya listrik belum menyinari rumah-rumah di malam hari. Tiap rumah, di depannya berdiri batangan bambu bersumbu, memancar cahaya api. Itulah suluh dari magrib hingga subuh tiba.

Raka menawarkan diri mengantar Ningrum ke rumahnya. “Pucuk dicinta, ulam pun tiba”, kata Ningrum.
Jalan ke rumah Raka dan Ningrum sepuluh tahun yang lalu hanya dapat dilewati dengan kenderaan lereng. Kini mobil dengan ukuran sedan Toyota Altis sudah bisa melintasi kampung tersebut.
Pohon-pohon tua masih tersisa di sana, seperti tualang, asam binjai, Kuini. Suara-suara senja seperti riang-riang entah ke mana kini, begitu juga kunang-kunang tak lagi berterbangan menjelang malam tiba.

Bacaan Lainnya

Mereka tiba di depan rumah Ningrum. Raka ikut turun hingga ke mulut pintu depan.
Di dalam rumah kelihatan banyak orang duduk bersila, seakan ada hajatan yang sedang berlangsung. Ayah Ningrum, Dul Lebah menyambut haru kedatangan putrinya, sepuluh tahun Ningrum tak pernah pulang, betah di rantau tanah Pasundan. “Ini suamimu nak?”, tanya Dul Lebah.
Ningrum tergelak dan berkata, “taklah tega Ningrum nikah tanpa setahu ayah. Ini teman yah, dia tinggal di kampung sebelah, anaknya Lebai Harun”, kata Ningrum.

Raka mengangguk ketika Dul Lebah menatapnya. “Nama saya Raka, pakcik. Saya pamit ya pakcik.”
“Masuklah dulu, nak, kejap lagi ayahmu janji hendak kemari, sudah lama kami tak bermain trup”, kata Dul Lebah. Dengan berat hati, Raka memenuhi ajakan ayah Ningrum yang ramah, ceria dan berbudi pekerti halus.

Ayah Raka muncul memberi salam di muka pintu. Disongsong ceria oleh Dul Lebah. Lebai Harun dibisiki Dul Lebah, “Raka, anakmu di sini, dia datang bersama Ningrum.”
“Mana dia?”, tanya Lebai Harun. Dul Lebah membawa Lebai Harun ke ruang tengah. Raka baru saja selesai makan malam bersama Ningrum. Menu yang terhidang kesukaan Raka, gulai asam jurung, sambal kecap dan beberapa jengkol muda beserta sambal terasi pulau kampai.

Dengan cepat Raka berdiri dari meja makan menyongsong ayah, memeluk dan mencium pipi ayahnya. Dul Lebah menyilakan tamunya duduk di bangku meja makan. Raka melepas segala rindu pada ayahnya.

Dul Lebah yang duduk berdekatan dengan Lebai Harun, membisikan sesuatu ke telinga tamunya tersebut. Tiba-tiba mereka tergelak bersama. Ningrum dan Raka saling berpandangan. Pesona mata Ningrum mendebarkan jantung Raka, “woow, inikah terminalku?”, Raka bergumam.

Sejenak kemudian Dul Lebah mengajak Lebai Harun ke ruang depan, bersila di atas tikar pandan. Acara yang digelar Dul Lebah malam itu adalah dalam rangka memprotes kehadiran ternak ayam Babah Asiong yang sangat mengganggu warga. Bau-nya sangat menyengat terlebih lagi jika angin berhembus. Lalat-lalatpun berhamburan ke sana kemarin.

Sebagian pemuda, malam itu berniat membakar kandang-kandang ayam Asiong. Dul Lebah memilih bermusyawarah dulu. Senjata Ketaren, tokoh pemuda yang sangat disegani di kampung itu berkata lantang, “pakcik, percuma saja musyawarah, hanya mengeringkan tenggorokan saja.”
Lebai Harun menimpali, “Ketaren, selesaikan masalah dengan kepala dingin.”
Ketaren mengangguk. Dia sangat menyegani Lebai Harun. Dia pernah berguru kebatinan pada Lebai itu.

Raka melangkah ke ruang depan, dia dihadang Senjata Ketaren. “Kapan kau datang, Raka? Nanti singgah ke rumahku ya, emakku sangat rindu pada kau Raka. Raka tergelak mereka berpelukan, Raka pun berguyon, “Yang rindu emakmu atau anak emakmu?”.

Mereka pun tergelak lagi. Raka keluar, duduk di bangku halaman dekat pohon sawo melepaskan beberapa batang rokok. Asap mengepul, hilang diembus angin malam. Dan muncul Ningrum dengan gaun malam mengantar Raka ke pintu pagar. (***)

Binjai, 130820
Tsi Taura

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *