‘Bohorok Art Festival’ Itu pun Menjadi Hari Raya Kampung Meriah!

Foto: Bohorok Art Festival. (ist)

Oleh Tatan Daniel

“YANG mustahak bagi kesenian tradisi adalah sandaran!” demikian Rizaldi Siagian, etnomusikolog yang ‘degil’ menyerukan pembelaan terhadap kesenian tradisi
yang kerap kali dianggap sebagai klangenan itu.

Bacaan Lainnya

Sandaran, dalam menegakkan eksistensi dan martabat itu bisa berupa ritus, atau sepetak pekarangan. Atau sosok yang rindang, yang membawa sumur jernih, dan padanya kita menemukan ilmu, pengalaman, atau kepedulian.

Kemarin pagi saya terkesima. Berada disebuah lapangan bola kampung, tepat di tepi rimba belantara Taman Nasional Gunung Leuser, dan tiba-tiba teringat ucapan Rizaldi tersebut. Berada di tengah keramaian orang-orang tua, kaum belia, dan anak-anak yang sibuk menggotong tradisi mereka. Menemukan gairah mereka.

Pembukaan Bohorok Art Festival (ist)

Keriangan yang segar, di tengah semesta luas tempat segenap kemungkinan saling mengisi. Sebuah ruang tanpa protokoler. Tanpa pidato basa-basi. Tanpa spirit proyek birokrasi.

Di tengah ruang ‘dari kita, oleh kita, untuk kita’ itu bergerak hilir mudik, sosok yang rindang itu. Khairul Anwar. Lelaki yang dadanya berdegub dan airmatanya menitik, menyaksikan kesenian leluhurnya berkelebat bertalu-talu di atas rumputan hijau, dan bergema sampai ke hutan rimbun.

Ia yang menjadi maesenas untuk seluruh acara, sendirian, ikhlas mempertaruhkan kenyamanan tidurnya. Memastikan ratusan orang yang terlibat, para seniman, para tamu terhormat, dan warga masyarakat yang menjadi bergotong-royong ‘even organizer’, tidak kecewa, tidak terlunta, tidak mengeluh sepotong kata pun.

Tempat bersandar itu memastikan kesenian bordah yang pemainnya para tetua sepuh itu tampil di panggung dengan bermarwah. Memastikan kesenian tradisi eskongkong, yang entah digubah oleh siapa, entah kapan, yang hanya terdapat di ceruk Bahorok (yang sebuah mesjidnya, memajang tahun berdirinya, 1901), tampil dengan pesonanya.

Memastikan Warisan Budaya Tak Benda Indonesia, tari Serampang Duabelas itu, mengisi panggung dengan lenggang menawannya.

Penari Serampang 12 menunggu giliran tampil di Bohorok Art Festival. (ist)

Pembukaan Bohorok Art Festival tanggal 19 Juli 2019 kemarin, yang dimaksudkan sebagai Hari Raya Kampung itu, dihadiri pula dengan antusias oleh Putra Mahkota Kesultanan Langkat. “Kesultanan Langkat sangat mendukung perhelatan swadaya masyarakat ini.

Sangat bangga, dan terharu. Ini kegiatan yang menggugah, dan menggugat cara berpikir kita selama ini! Saya sangat berharap mudaha-mudahan dapat dilaksanakan setiap tahun. Bagaimanapun, budaya harus dihidupkan. Dilestarikan. Dan sangat berguna untuk mengisi ruang kawasan wisata Bohorok yang sangat terkenal di mancanegara ini!” ujarnya.

Di awali dengan arak-arakan para penari Serampang Duabelas dari berbagai Kabupaten di Sumatera Utara, komunitas warga, barisan siswa dari beberapa sekolah, dan rombongan pramuka. Berlanjut dengan ritual tepung tawar bagi seluruh peserta lomba tari Serampang Duabelas oleh para tokoh masyarakat setempat.

Perhelatan terus berlangsung hingga malam hari. Ribuan warga memadati tempat acara. Seperti pasar malam. Panggung ganti berganti diisi oleh warga.

Hari raya kampung ini, seperti mayang pulang ke tampuk. Kerinduan yang kembali ke akar. Berharap sandaran bagi kesenian tradisi yang selalu dikalahkan itu, menjadi tegak. Batangnya tegak. Dahannya liat. Daunnya rimbun. Menjadi tempat merenung, bernaung, dan menabuh gendang pak pung, sampai berdentung ke ujung kampung, membangunkan Tok Penghulu, dan segenap pemangku budaya, stake-holder, yang semestinya bertanggungjawab malah tertidur lelap, atau sibuk tak tentu hela!

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *