(80) Cerpen Mini (Cermin) ‘Hidup Baru’

MAT KILAU bersama Paulina, istrinya hendak ke Simpang Kramat menjenguk atoknya, Tengku Husein Petir. Dia ingin mencoba melunakkan hati keras si atok, hingga kini tak pernah menerima sembah sujudnya.

Mat Kilau terkejut ketika di mulut jalan masuk ke Simpang Kramat, dia melihat spanduk dan poster di kiri-kanan jalan. Jantungnya berdegub kencang, dia memperlambut kenderaan sedan mungilnya, dan berhenti di salah satu poster. Bersama Paulina membaca poster tersebut, matanya tertuju pada sebuah poster, dengan latar gambar Sonya dan Tan Bima, putra sulung Tengku Tora.

Bacaan Lainnya

Mat Kilau membaca puisi ciptaan Sonya berjudul “Aku Juga Bisa”. Kilau sadar, puisi itu sindiran tajam buatnya. Kaki Kilau gemetar, dadanya bergemuruh, Ingin ia berteriak sekuatnya. Sepertinya ia tak rela Sonya menikah dengan Tan Bima, advocat kondang ibu kota itu. Rasa cintanya masih tersimpan utuh.

Di sebelah kanan jalan, Kilau membaca puisi Tengku Tora berjudul “Cinta Itu Waktu”, Kilau semakin tak mampu mengendalikan perasaannya. Peluh ditubuhnya bercucuran. Paulina membaca perasaan Kilau. Disekanya keringat di kening kilau. Dan dengan lembut ia bertutur, “dalam tertawa belajarlah menangis, dalam menangis belajarlah tertawa. Kalau sesat di ujung jalan, kembali ke pangkal jalan. Cinta itu ditinggalkan atau meninggalkan, dua-duanya permainan takdir.”

Kilau menatap tajam Paulina, seperti rimau hendak menerkam mangsa.
Paulina menundukkannya dengan tutur, “istigfarlah wahai kekasihku. Bukankah kanda telah memilihku dan aku memilihmu dengan pengorbanan dikucilkan keluarga. Sekarang hanya karena membaca puisi perempuan yang kanda campakkan seperti sampah, kanda tak mampu bersabar dan berjiwa besar seperti Sonya?”.

Kilau terdiam, kata-kata itu mendinginkan kepalanya.
“Hidup ini seperti gema, apa yang kita teriakan berbalik cepat ke telinga kita, tak sepatahpun yang hilang”, kata Paulina lagi sambil menuntun suaminya ke mobil.

“Kita kembali ke batavia, Lina. Aku tak sanggup menyaksikan pesta luka itu. Aku tak ingin menambah luka baru.”

“Sejak kapan kanda jadi pengecut? Berjiwa besarlah !!! Hadiri dan ucapkan selamat bahagia, menempuh hidup baru”, kata Paulina melecut semangat suaminya.
Mat Kilau terhenyak.Dia seperti menghadapi buah simalakama. Tapi bagaimana pun dia harus memilih.
“Tujuanku ke sini melihat atok, bersujud padanya”, Kilau membatin.

(***)

Binjai, 280820, tsi taura.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *