(77) Cerpen Mini (Cermin)’Warisan Putri Melayu’

MALAM kedua hilangnya Sita Maharani, naluri intelijen Tora, mantan aparat penuntut itu bergulir. Lewat tengah malam ia memasuki kamar semedi alm Tengku Ulung Alas. Ketika dia memegang pegangan pintu dan mendorongnya ke dalam, Tora terpelanting ke belakang dinding di muka pintu. Tora dengan cepat bangkit lagi. “Rupanya kamar semedi ini sudah dipagar alm sang guru”, Tora membatin.

Tora dengan bantuan datuk Panglima Hitam mampu menguak pagar tersebut. Mereka masuk ke ruangan yang penuh aroma setanggi. Merinding juga bulu kuduk Tora berada di ruang semedi tersebut. Dia membaca ayat kursi, bagian dari kitab suci alquran surat albaqarah ayat 255. Surat penuh makna. Surat ini disebut juga surat singgasana. Setelah membaca surat tersebut Tora dengan tenang mengelilingi kamar semedi alm Ulung Alas.

Bacaan Lainnya

Di sudut katil Tora dan datuk Panglima Hitam menemukan sebuah peti besi yang tak terkunci, sepertinya peti itu baru dibuka pemiliknya.
“Hati-hati Tora, biar pakcik buka peti itu”, kata Panglima Hitam.
Sehelai warkat lusuh diraih Panglima hitam.
“Tora, baca ini. Ingat hanya untuk dibaca, engkau tabu menceritakan hal ini pada siapapun. Kau langgar kau dan keluargamu kena puaka seumur hidup.”
Tora mengangguk, dia seakan tak percaya apa yang dibacanya, ‘rahasia dua kalung’ tersingkap sudah”, Tora bergumam.

Setelah Tora membaca warkat itu dikantongi Panglima Hitam, “kita harus musnahkan warkat ini”, kata Panglima Hitam.
Kemudian mereka meneliti warkat-warkat lain yang ada di peti besi itu.
Ternyata alm Ulung Alas telah menurunkan ilmu Saifi Angin, ilmu berlari cepat secepat kilat pada Sita Maharani. “Pantas, Sita tak terkejar malam itu”, Panglima Hitam bergumam.
“Kita selamatkan warkat-warkat ini, kau pelajari, amalkan jika tidak syirik menurut agama”, kata Panglima Hitam.
Tora mengangguk dan bersama keluar kamar semedi itu, Panglima itu mengunci kamar itu dengan kekuatan ilmu kebatinannya.

Subuh baru saja berlalu, Datuk Panglima Hitam membisikkan pada Tora bahwa perempuan yang mengusir Sita, tewas mengenaskan bersama suaminya di pinggiran sungai Wampu tadi malam. Tubuh mereka tercabik-cabik. Seperti diserang binatang buas.

Ketika matahari setinggi penggalah semua para pelayat meninggalkan rumah duka. Datuk Panglima Hitam memagar rumah tersebut dengan ilmu kebatinannya.
Hanya Tengku Sita Maharani yang dengan mudah masuk ke sana.

Di tengah jalan keluar dari perkampungan pinggiran sungai Wampu, Tora bertemu dengan seorang perempuan berusia muda, duduk mencangkung di bawah pohon rambung tunggal. Tunggal karena pohon itu satu-satunya yang ada di pinggiran sungai jalan menuju jalan raya. Perempuan itu kelihatan lusuh tak bergairah. Tapi pesona mukanya masih tersisa elok dan rupawan. Rambutnya kusut, pandangannya kosong. Ia sepertinya membutuhkan pertolongan. Tora mendekati dan menyapa lembut.
“Dinda menunggu siapa? Boleh kanda bantu?”.

Perempuan itu memandang tajam seperti ketakutan.
“Dinda dari mana? Kenapa di sini?”.
Perempuan itu bangkit dan ingin berlari jauh, sepertinya dia trauma bertemu lelaki. Dengan cekatan Tora menangkap bahunya. Ia meronta-ronta ingin melepaskan diri dari pegangan Tora.

“Dinda, saya bukan orang yang ingin mencelakaimu, yakinlah. Mari ikut saya ke luar dari sini.
Perempuan itu melemah, Tora menuntunnya menuju mobil Tora yang sudah menunggu di tepi jalan raya.

“Kanda, jauhkan dari sini Batavia?”, perempuan itu melantur.
“Dinda mau ke Batavia?”
Dia mengangguk.
“Kanda juga mau pulang ke Bandung, transit Jakarta. Sudah, kita barengan ya ke Batavia. Perempuan itu seakan tak percaya apa yang didengarnya. Tapi intuisinya tak mengarah pada kecurigaan yang perlu diwaspadai

Tora membawa perempuan itu ke Medan, mengganti gaun dan merapikan dandanannya.
Perempuan itu tertanya-tanya siapa sebenarnya lelaki yang membantunya ini.
Pelan-pelan ingatan perempuan itu pulih, ia merasa pernah bertemu dengan lelaki ini. “Jika tak salah ia seorang penuntut di Instansi penegak hukum”, perempuan itu membatin.

Dengan pesawat Garuda mereka terbang ke Batavia.
Di dalam pesawat itu Tora mengorek informasi siapa perempuan yang ditolongnya ini.
“Boleh tahu namamu siapa?”, tanya Tora.
Perempuan itu membalikkan tubuhnya, berhadap pandang dengan Tora.
Tora terkesima, senyumnya, sinar matanya yang lembut.
“Namaku…..?”, kalimat itu tak tersambung hingga pesawat mendarat di Bandara Soekarno Hatta.
Perempuan itu bertutur, ” Nanti dinda ceritakan semuanya jika waktunya tiba.”
Dan mereka pun menuruni anak tangga pesawat. (***)

Binjai, 250820, tsi taura.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *