Rimbo Panti Penyimpan Kesejukan dan Kehangatan (Selesai)

Foto: Sumber air panas Rimbo Panti. (Kirana Kejora)

Oleh. Kirana Kejora

RIMBO Panti saat ini merupakan Taman Wisata Alam (TWA) terluas di Sumatra Barat ditumbuhi banyak tumbuhan yang masuk ke kategori langka dan dilindungi. Ada berbagai jenis pakis, pohon rengas, pohon gaharu, dan berbagai jenis anggrek serta pohon andalas (Morus macroura) yang merupakan maskot Provinsi Sumatra Barat.

Bacaan Lainnya
Foto: Sumber air panas Rimbo Panti. (Kirana Kejora)
Foto: Sumber air panas Rimbo Panti. (Kirana Kejora)

Berbagai jenis satwa langka yang dilindungi dan endemik khususnya dari keluarga burung, yaitu burung kuau (Argusianus argus), enggang tanduak (Buceros rhinoceros), alang sarok (Ictinaetus malayanus), dan raja udang (Ceyx erithacus).

Dari keluarga mamalia, ada beruang madu (Helarctos malayanus), kukang (Nycticebus coucang), kancil (Tragulus javanicus), rusa (Cervus unicolor), dan si raja rimba, harimau sumatra (Panthera tigris sumatrae).

Di belakang kolam air panas, saya mendaki sedikit, berjalan di pedestarian track wisata di antara pohon-pohon langka, akar-akar yang bergantungan dan tebaran berbagai macam dedaunan kering, saya terasa berada di hutan dongeng seperti di film-film petualangan.

Setelah puas mengamati apa yang bisa menjadi inspirasi saya menulis, kelana berikutnya adalah ke telaga-telaga kecil air panas yang bermunculan di seberang jalan. Letaknya berada di sebelah kanan jalan, saya sedikit berjalan ke arah timur, geser sedikit melewati pedestarian track wisata lainnya.

Saya menyeberang dengan hati-hati karena letaknya berada di tikungan jalan, banyak kendaraan besar, baik bus mau pun truck yang lalu lalang dengan kencang.

Sampai di seberang jalan, sekitar 50 meter dari gerbang kolam pemandian air panas, ada bangunan batu dan semen besar bertuliskan Cagar Alam Rimbo Panti. Namun tentu saja saya hanya bisa masuk kawasan TWA-nya yang mulai tercium bau belerang-nya.

Baru beberapa meter memasuki kawasan yang hanya dipagar kayu itu, saya telah menemukan telaga kecil air panas, berdiameter sekitar 40 cm yang diberi pagar semen melingkari sumber air panas itu demi keamanan dan kenyamanan para pengunjung.

Keluar asap yang menerpa wajah saya saat saya berjongkok melihatnya dari jarak dekat, terasa berada di tempat sauna. Setelah wajah begitu hangat dan mulai panas, saya berdiri, menatap ke depan.

Di depan saya ternyata banyak sekali telaga kecil berukuran beda. Lalu saya melintasi jembatan semen berpagar kayu menuju sungai air panas yang lumayan panjang dan besar.Kolam pemandian air panas Rimbo Panti

“Hati-hati!”

Itu kalimat pertama yang harus diingat. Karena pernah beberapa kali terjadi musibah yang tidak diharapkan terjadi hingga nyawa melayang karena keteledoran pengunjung. Tak pandang usia, mereka terpeleset masuk ke sungai air panas dengan temperatur sekitar 100 derajat Celcius itu karena tak mengindahkan peringatan yang tertulis di pagar ‘DILARANG MASUK’

Membumbung tinggi kepulan asap yang menghangatkan, namun juga akhirnya membuat panas sekujur tubuh. Memang memesona, terasa mandi sauna, jiwa raga terasa sehat, namun kita juga jangan lengah karenanya.

Nampak pemandangan beberapa orang asyik berjongkok di tepi sumber mata air panas, membuat saya penasaran. Ternyata mereka merebus telur yang dibeli dari warung yang berada di depan lokasi dengan cara memasukkan ke dalam tas plastik yang dikaitkan pada sebatang kayu, lalu diceburkan ke dalam sungai air panas. Hanya dalam waktu 10 menit, telur ayam itu matang dan siap untuk dimakan.

Di samping sumber air panas itu terdapat jembatan kayu menuju pedestarian track wisata ke arah pintu keluar alternatif lain, berujung pada jalan depan kolam pemandian air panas.

Setelah selesai merasakan kehangatan uap dari air panas telaga Rimbo Panti, dan tak lupa berfoto diri untuk mengenang penjelajahan langka ini, saya segera keluar dari lokasi karena waktu telah menjelang senja.

Kepulangan saya ternyata disambut ramah oleh pemandangan dua ekor monyet berekor panjang yang sedang bermain di bawah pohon menuju pintu keluar.

Monyet berekor panjang (Macaca fascicularis) adalah monyet asli Asia Tenggara namun sekarang tersebar di berbagai tempat di Asia. Nama lokalnya dalam bahasa Melayu, kra atau kera, adalah tiruan bunyi yang dikeluarkan oleh hewan ini.

Foto: Pedestarian track samping krii pemandian air panas Rimbo Panti. (Kirana Kejora)
Foto: Pedestarian track samping krii pemandian air panas Rimbo Panti. (Kirana Kejora)

Setelah saya menyapa dua monyet yang segera naik, bergelantungan, lalu bertengger di pohon dan telah berhasil mengambil foto terbaiknya, maka, saya segera keluar dari “sauna alam” itu.

Saya lalu melepas dahaga di warung makan dan minum Bang Ucok Bule yang berada persis di depan kolam pemandian air panas. Lelaki berdarah Batak dan Minang itu bercerita jika ada sebuah cerita yang terkenal di Rimbo Panti, yaitu Legenda Kuburan Duo.

Menarik, pikir saya, bisa menjadi referensi tambahan. Sambil menyesap minuman jeruk hangat, saya mulai menyimak cerita tentang dua orang lelaki beda suku itu.

Ceritanya, dulu ada seorang pemburu pergi ke Rimbo Panti untuk berburu rusa. Dia berdarah Minang, bernama Buyung. Di perjalanan, dia bertemu dengan seorang pemburu berdarah Batak bernama Ucok, kebetulan namanya sama dengan sang pendongeng yang berada di samping kiri saya.

Mereka memiliki tujuan yang sama untuk berburu rusa. Kemudian, mereka berjalan di hutan bersama-sama, tetapi mereka tidak berbicara satu sama lain karena mereka tidak memiliki bahasa yang sama.

Di tengah-tengah hutan, mereka melihat rusa sedang tidur. Ucok dalam bahasa Batak, berbisik kepada Buyung, “Ssst. Anggo dapot naron ruso i, sabariba jio sabariba jau uluna hita bagi da.”

Arti ucapan Ucok ialah, jika kita mendapatkan rusa, setengah untuk kamu, setengah untuk saya dan kepala, kita membaginya dengan dua bagian.

Buyung dengan memakai bahasa Minang, menjawab, “Ooh, kalau dapek beko ruso tu, saparo dek ang saparo dek den kapalonyo awak bagi duo.”
Ini memiliki arti yang sama dengan apa yang dikatakan Ucok pada awalnya.

“Ooh, jika kita mendapatkan rusa, setengah untuk kamu, setengah untuk saya dan kepala, kita membaginya dengan dua bagian.” Namun, mereka tetap tidak mengerti bahasa masing-masing karena mereka berasal dari suku yang beda, dan rasa ego mulai ada. Mereka juga tidak menemukan cara lain untuk membuat mengerti apa yang mereka bicarakan. Saling menjelaskan, namun juga tak jelas juga. Mereka selalu

Ucok berteriak, “Ulang! Ulang! Mancit!”

Yang berarti, “Jangan! Jangan! Sakit.”

Buyung gagal paham, lalu menjawab, “Apo? Ang kecekan den mancik? Oh, kadiulang kecek ang?”

Arti kalimat itu begini, apa? Apakah kamu mengatakan saya seperti tikus? Ooh, kamu ingin aku memukul kamu lagi.

Buyung menekan bahu Ucok lagi. Kemudian, Ucok berkata, “Ulang tenju au! Ulang tenju au! Mancit!”

Itu adalah kalimat yang artinya sama dengan yang dia katakan sebelumnya. Namun, Buyung tidak peduli, semakin emosi, karena kata mancit dia pikir adalah mancik, dalam bahasa Minang artinya tikus, dia salah mengartikan, dia merasa dihina.

Buyung masih terus meninju bahu Ucok yang akhirnya membalas, menekan bahu Buyung hingga membuat suara gaduh akibat perkelahian mereka.
Karena sangat gaduh, dan semakin seru pertikaian mereka, maka rusa itu terbangun karena ia merasa terganggu dan segera lari secepat mungkin untuk menyelamatkan hidupnya. Penduduk mulai berdatangan tanpa bisa melerai karena kedua orang itu sama-sama kuat, saling menyerang dan bertahan. Hingga pada akhirnya, keduanya meninggal dunia dan mereka dikuburkan dalam satu liang kubur yang dikenal dengan nama Kuburan Nan Duo.

Saya jadi terharu mendengar cerita Bang Ucok yang menutup ceritanya dengan tatapan hampa, seakan ikut merasa kehilangan dua nyawa, tokoh utama cerita legenda itu.

“Hikmahnya, jagalah persaudaraan, saling menghormati segala perbedaan dengan mencari cara untuk bisa saling memahami, maka, semua akan baik-baik saja. Damai itu indah. Apa pun asal suku kita, sadarlah, bahwa kita ini sama-sama putra Indonesia. Kalau boleh lebih mengartikannya, Bhinneka Tunggal Ika. Hal yang kini mulai kita lupakan.”

“Semoga kita tidak begitu ya Bang. Yang jelas, mulai senja ini, saya tak akan bisa melupakan pesona Rimbo Panti dengan kesejukan sekaligus kehangatannya Bang!”

Saya menjabat tangan Bang Ucok, mengucapkan banyak terima kasih telah menjamu, mau berbagi, dan peduli lingkungan. Lalu saya pun mohon izin pulang bersama teman-teman dari Direktorat Pemanfaatan Jasa Lingkungan Hutan Konservasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta dari BKSDA Sumatera Barat, untuk melanjutkan kelana berikutnya ke TWA Lembah Harau.

Mencintai alam adalah menjaga, melestarikan, juga merawatnya, bukan mengotori atau merusaknya. Saat alam kita cintai dengan hati nurani, maka, ia pun akan berbalik memberi kita cinta dari Sang Illahi yang berlebih untuk kehidupan anak cucu kita nanti.

Sayangi hutanmu, cintai lembahmu, rindukan sungaimu, maka Tuhan akan memberi banyak berkah kehidupan dari semua yang telah kamu kasihi dengan hati. (gr)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *