MERIAH itulah terkesan saat pembukaan pameran lukisan karya Hardi (KP Hardi Danuwijoyo) yang bertajuk ‘Seni Politik Humanuisme’ yang dilaksanakan di Bentara Budaya Jakarta, Jalan Palmerah Selatan No.17, Jakarta Pusat, Kamis malam, (11/8/201).
Hujan menguyur sekitar tempat acara pembukaan pameran. Tentu akan membuat jalanan macet menuju Jalan Pal Merah. Tiga puluh menit sebelum dimulai, bangku-bangku yang disiapkan panitia masih kosong. Tapi, jelang 10 menit acara dimulai, semua bangku terisi penuh, bahkan banyak dari para undangan yang berdiri. Pas tiba Mensesneg Pratikno di Bentara Budaya, acara pun dimulai.
“Karena kau bukan lacara ‘pelukis sekedar’. Kau menjalankan laku kesenianmu seiring dengan aktivisme di tengah masyarakat. Kau mendesain keris baru, berpameran dan memprovokasi kalangan keris dengan berbagai dalih untuk menggoyang kemapanan mereka, Kau mendesain kain untuk baju dengan motifmotif yang khas gayamu. Kau melukis wayang kulit dengan cara mu sendiri, bahkan menerbitkan buku. Kau berbicara di forum terbatas maupun di televisi sejak soal seni sampai keberpihakan kepada kebenaran yang kau yakini,” kata Efix Mulyadi sebagai kurator dalam kutipan sambutannya.
Frans Sartono mengatakan dalam sambutannya, sebagai lokomotif Gerakan Senirupa Baru Indonesia, Hardi telah melahirkan puncak-puncak karya seni lukis dalam tiga dekade yang menjadikannya seorang Maestro sekaligus pejuang hak-hak rakyat. Trah Kahuripan hingga Trah Majapahit yang mengalir dalam tubuhnya terus menggelegak.
“Haus mencipta adi karya baru, untuk memenuhi panggilan hati nuraninya sebagai seniman dan budayawan Suatu malam dia bermimpi bertemu Mpu Bharada yang diyakini sebagai leluhurnya, Mpu sakti pendamai dua putra Airlangga yang berperang memperebutkan Kerajaan Kahuripan itu menegurnya Hardi… seni modern saja yang kamu urus! Seni leluhur, dibiarkan saja!” kata Frans dalam sambutannya dalam buku ‘Seni Politik Humanisme’ sebagai katalog pameran.
Dalam kesempatan itu, hadir juga Ketua Umum DPP Projo, Budi Arie Setiadi. Dalam sambutannya ia mengatakan, politik itu tujuannya haruslah menghasilkan kehidupan yang baik. Sementara seni, bagi Budi Arie, adalah soal rasa dan emosi manusia. Seni harus menyentuh rasa dan kehidupan
“Dalam pandangan Aristoteles, politik diartikan sebagai segala upaya untuk mencapai eudaemonia (hidup baik).Jadi,politik jangan sampai kehilangan tujuan suci dan mulianya,”ujarnya.
“Sementara seni adalah soal rasa dan emosi manusia, harus menyentuh rasa dan kehidupan. Dan kemanusiaan adalah hakekat diri kita,” tambahnya. Seni, politik dan kemanusiaan, Budi Arie menegaskan, tidak dapat di pisahkan. Politik harus terus memiliki keindahan dan hakekat kemanusiaan. Sementara rasa dan kemanusiaan, politik menjadi hampa tanpa arti.
Mensesneg Pratikno hadir dan membuka pameran itu cukup apresiasi dengan pameran yang digelar oleh Hardi. Bahkan dia sempat kaget dengan pidadonya sang pelukis. “Dari pidatonya, saya ingin mengundangnya sebagai ustad. Karena ceramahnya lumayan bagus.,” kata Mensesneg lanirigsung sambut riuh oleh hadirin.
Bagi yang ingin menikmati karya-karya Hardi, pameran untuk umum akan berlangsung mulai 12-20 Agustus 2016 pukul 10.00 – 18.00 WIB. (gr)