Monolog ‘Nyonya Kasih’, Kurang Berani Menelanjangi Kehidupan Keluarga Pejabat

MEDAN – Tahun 2019 Bengkel Monolog kembali menggelar satu pertunjukan Monolog. Ini juga merupakan monolog perdana di awal tahun ini. Nyonya Kasih. Itulah naskah monolog Karya Teja Purnama. Naskah ini kurang greget saat ditampilkan Dimar dengan sutradara Indah Bunda Jibril di Gedung Tari TBSU, Medan, Sabtu 26 Januari 2019.

Dimar seorang aktor pemula. Sebagai aktor pemula yang gemar membaca puisi, Dimar tidak gagal saat memainkan tokoh ‘Nyonya Kasih’. Hanya saja kurang greget. Jika Dimar bisa “digojlog” lebih berani lagi oleh sutradaranya, pementasan yang digawangi oleh Porman Wilson dan Hendri Batubara ini akan terasa berbeda.

Bacaan Lainnya

Yulhasni penggiat teater dari Teater O USU yang juga kini menjadi Ketua KPU Medan menilai, sebagai pemain pemula, Dimar cukup baik bermain. Diharapkan Dimar terus bermain dalam garapan- garapan selanjutnya.

“Sebagai pemula, aktris sudah bermain cukup lumayan. Kita berharap Dimar tidak berhenti sampai disini. Jika terus, kita akan punya aktris cantik yang akan menjadi aktris teater di Medan,” ujarnya.

Tanggung

Naskah ‘Nyonya Kasih’ yang ditulis Teja Purnama ini berkisah, tentang seorang istri pejabat di Kantor Wali Kota. Nyonya Kasih harus menghadapi kenyataan pahit. Dimana suaminya ditangkap KPK lantaran tuduhan korupsi. Di saat bersamaan dia juga harus menelan kegetiran lantaran terbongkar kalau suaminya juga punya simpanan istri muda.

Seperti kita tahu, bahwa tidak mungkin seorang pengarang cerita, menulis seorang tokoh yang biasa biasa. Seorang pengarang pastilah memilih seorang tokoh yang unik untuk diangkat menjadi tokoh dalam ceritanya. Itu mengapa cerita menjadi berbeda dengan tokoh yang tentu saja tidak seorang yang biasa biasa saja.

Seorang sutradara tentunya sudah punya rencana atau progres, seperti apa, atau bagaimana sebuah cerita akan dihidupkan di atas pentas. Dalam proses latihan, meskinya baik pemain maupun sutradara sudah merancang sebuah konsep garapan. Tentu saja mereka punya gambaran bagaimana sebuah teater akan dipentaskan. Realiskah, surealiskah, minikatakah, drama kah, komedikah, dan lain sebagainya.

Pada pementasan ‘Nonya Kasih’, penonton masih melihat sebuah garapan yang tanggung. Sutrada seperti tidak berani untuk keluar dari pakem pakem dramatic yang sering dipentaskan kebanyakan teater realis selama ini. Padahal jika sutradara dan pemain berani sedikit nakal, mereka bisa menelanjangi, bagaimana kehidupan keluarga pejabat yang korup itu.

Mengapa sutrada tidak berani menelanjangi Nyonya Kasih yang misalnya setelah suami tertangkap KPK, diujung cerita malah menelpon berondongnya untuk menghibur dirinya yang sedang suntuk berat. Atau misalnya, di tas ‘Nyonya Kasih’ ada sepucuk pistol yang pada adegan adegan tertentu timbul keinginannya menembak kepalanya sendiri. Atau setelah mendengar suaminya tertangkap, dia memilih untuk mabuk mabukan debgan mebenggak minuman keras untuk mengatasi masalahnya itu.

Bukankah kehidupan seperti itu adalah hal berbeda untuk dijadikan tontonan yang unik dan berbeda. Bukankah kehidupan mereka dekat dengan kefrustasian, gila gilaan dan bila menghadapi masalah langsung jauh dari tuhan. Bukankah busana keagamaan yang mereka kenakan hanya simbol tertentu saja.

Mungkin jika sutradara seberani ini, mengobrak abrik naskah, mengeksplorasi dengan energi yang penuh, maka pertunjukan ini akan jadi berbeda.

Setting pentas juga terlihat mubazir dengan benda benda yang justru tidak terlihat artistik dan juga tidak terlihat mewakili kehidupan seorang pejabat penting yang kaya raya. Mungkin panggung bisa diisi dengan sebuah kursi dan meja antik dari kayu Jati Jepara dan sebuah pilar putih di tengah panggung. Selebihnya panggung bisa ditutup dengan kain hitam saja.

Barangkali setting sederhana seperti ini bisa lebih mewakili untuk monolog ‘Nyonya Kasih’ yang struktur ceritanya boleh dikatakan sangat menarik untuk dikorek-korek lagi.

Namun secara keseluruhan, kita wajib angkat jempol pada sutradara Indah Bunda Jibril yang telah bersusah payah menempah seorang aktris agar Kota Medan kembali memiliki gairah berteater yang bergelora yang akhirnya menelurkan aktor dan aktris yang mumpuni dan disegani di kancah nasional. Itu harapan kita bersama!! (aba).

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *