Monolog ‘Pisang Terakhir’ Karya Rizal Siregar

Pisang Terakhir Poster

INTERIOR SUDUT SEBUAH BANGUNAN MENJULANG DI KOTA METROPOLITAN. BANGUNAN DAN TAMAN KOTA MENJADI LATAR BELAKANGNYA. DI DEPANNYA, YANG TIDAK BEGITU JAUH TERDAPAT JALAN RAYA BERTINGKAT DAN MRT.

SEORANG PRIA SEPARUH BAYA MUNCUL DARI BALIK GEDUNG, MENGENAKAN JAS, TAS KECIL DAN BERKACA MATA.  DIA ADALAH KAMANDANUH SEORANG YANG TERPANDANG DI JAGAD INI.

Bacaan Lainnya

ARYA KAMANDAUH:

(MELIHAT KE TEMPAT IA MASUK TADI). Mereka tidak akan menemukan aku disini. Ya, aku merasa nyamakan disini. (MENARIK NAFAS DALAM).

ARYA KAMANDANUH MEMPERHATIKAN SEKELILING. MELIHAT LINGKUNGAN ITU, IA JADI TERKESIMA. ARYA KAMANDANUH SEAKAN MENEMUKAN SESUTAU YANG LUAR BIASA.  ARYA SEJURUS KEMUDIAN DUDUK DI SEBUAH KURSI TAMAN.

Aku sudah muak dengan tampang-tampang mereka. Boneka-boneka hanya bisa meyalani, menghamba dan mengatur jadwal serta mengagendakan urusan bisnis dan keuntungan belaka. Mereka pikir aku ini robot apa? Yang bisa menampilkan berbagai wajah, berbagai dusta dan berbagai kepura-puraan!

TIBA-TIBA ARYA INGAT SESUATAU DAN MEROGOH SAKUNYA. (TERTAWA) Untung ingat. Aku harus matikan handphone keparat ini! Kalau tidak, Monica, Angel dan Jhon atau Maman bisa menghubungiku. Kalau sudah begitu, mereka akan bisa mengaturku lagi. Oh tidak! Tidak! (MEMATIKAN HANDPHONE). Kini aku sudah sendiri di tengah keramaian. Manusia mana yang tidak muak bila dijadikan robot mengatasnamakan kepentingan umum? Demi perusahaan pak, ini buat pencitraan, bapak  harus percaya diri,  harus bisa mengekspresikan kesuksesan di depan pubik. Bapak harus  tampil menyakinkan  ketika tampil di depan publik dan di depan puluhan camera TV serta  ratusan wartawan. Ya begitu, selalu si Monica staf pribadiku mengingatkan setiap saat sembari me-make-up wajahku.

(MELIHAT JAM TANGAN) Tiga puluh menit lagi acara akan mulai. Toh, mereka kira aku berada di ruangan istirahat VIP. (MEMPERHATIKAN SEKELILING DAN BERGERAK MENGUASAI PANGGUNG DAN MENGINGAT SESUATU).

Aku tidak percaya dengan apa yang kusaksiakan saat ini. Ini seperti mimpi. (BERDIRI DAN MEMUTAR KEPALANYA KE SEGALA PENJURU) Ya. Aku tahu tempat ini?! Sudah puluhan tahun berlalu, tapi mengapa aku bisa berada disini? Di hari pertamaku setelah 20 tahun tanpa asisten, pengawal dan dan para penjilat-penjilat itu aku berada di tempat masa kecilku. Di tanah leluhurku yang kini menjadi hutan beton. Inikah kampungku itu?  Yang dulu begitu rimbun. Pembangunan yang tak menganal perasaan. Menggilas siapa saja yang lemah, yang kuat akan jadi pemenang. (TAK PERCAYA) Ini benar-benar aneh! (TERTAWA) Aku telah kembali ke kampung halamanan. Kampung kecil itu kini sudah menghilang dan menjadi kota besar. Megapolitan!

(KETIKA MELIHAT SEBUAH POJOK IA KAGET MELIHAT SEBUAH POHON PISANG RAJA. SECARA PERLAHAN ARYA KAMANDANUH MENDEKATINYA). Apakah aku tidak bermimpi, bisa melihat Pisang Raja ini lagi? Sudah mulai mateng. (DENGAN SEBUAH BANGKU DI YANG TERDAPAT DI POJOK MEMENGANG PISANG) Ah, aku tidak boleh memetiknya. (MEMPERHATIKAN)  Biarkan dia ranum semua! Aku tidak boleh egois. Aku tidak boleh menjadi penjahat. Orang yang menanam pisang ini  yang berhak memakannya. (MENGINGAT) Berarti, inilah pekarangan rumah masa kecilku. Ya! Ya, aku ingat sekarng. Di sana sumur. Disitu kadang kambing. Dan disana, di bawah pohon rambutan aku sering main ayunan bersama teman-teman.  Di sebalahnya, aku sering bermain di kali itu. Ini adalah tempat aku dilahirkan, di kawasan Karet ini!

(MENDEKATI) Pisang Raja itu, pisang terakhir yang tumbuh di sekitar sini. (MENICUM) Harumnya begitu khas. Separuh jagad sudah aku jalani, belum pernah aku merasakan begitu harum dan  lezatnya Pisang Raja di tanah moyangku!  (MEMETIKNYA DENGAN MENGGUNAKAN BANGKU) Aku ingin sekali memakannya. (MENAHAN SELERA DAN MENGELUS PISANG). Oh..! Kalau aku makan, sama saja aku mencuri. (MENUTUP MULUT)

Aku memang pencuri! Pakaian mentereng, mobil mewah, deposito trilunan luar ngeri dan pabrik serta perkebunan yang luas itu hasil kong kali kong dengan aparat. Mereka bisa aku bayar. (MEMBELA DIRI)  Ah, aku tidak pernah mencuri.  Para Direktur dan Direksi perusahaan yang melakukannya. Kalau Direktur dan Direksi perusahan mengemplang pajak, melakukan pembakaran hutan dan bermain proyek hingga membikin banjir. Itu  bukan urusanku! Aku tidak pernah melakukan perbuatan jahat!

(BERTANYA) Siapa sebenarnya pencuri itu? Pengusaha seperti aku ini hidup untuk cari untung! Segala cara harus aku lakukan. Harus selicin belut. Menjadi seorang pengusaha sukses memang bukan merupakan hal yang semudah membalikkan telapak tangan. Selain dibutuhkan strategi investasi yang tepat, juga dibutuhkan sikap mental. Dan tentunya, harus berani mengambil resiko dengan bermain api. Hidup ini berjudi. Jangan perhatikan kartu lawanmu, tapi perhatikan dia bermain.

(MENETAP PISANG) Air liur aku sudah menetes berkali-kali,  ingin menyantap Pisang Raja ini. (MELIHAT SEKELILING SAMBIL MEMETIK PISNG) Ooooh! Harumnya! Aromanya bikin aku ingat masa kecilku. (MENGUPAS PISANG DENGAN PERLAHAN SAMBIL MENIKMATI AROMANYA).  Dengan Ayah, Ibu, Kakek, Nenek, abang dan kakak. (SAMBIL MENGUPAS KULIT PISANG AIR MATA MENETES). A-ku rin-du kalian se-mua. Encep, Pi’i, Oman dan Entong, dimana kalian? (MELALAP HABIS PISANG)

(ARYA KAMANDANUH MENDEKATI BEKAS SUMUR. LALU IA BERJALAN  SEPULUH LANGKAH DENGAN MENYERONG PANGGUNG PERSIS DI BAWAH LAMPU TAMAN IA BERHENTI). Di sini! Ya Disini! (MEMANDANG KESELILING, SAMBIL MENERKA-NERKA POISI). Tidak salah lagi. Ya disini! (MENANGIS PILU DAN TAFAKUR). Kakek…! Lama aku menjadi makam kakek! Usiaku 10 tahun ketika kakek dikuburkan disini!

(ARYA KAMANDANUH BERDIRI TEGAK) Lihatlah, aku Arya Kamandanuh kek! Aku gagal jadi tentara, tapi aku telah menjelmah menjadi konglemerat papan atas di negeri ini. (MENANGIS) Aku gagal menjadi manusia seutuhnya! Manusia sampah! Tidak ada artinya aku memiliki semua ini, sementara makam kakek dan moyangku ada di bawah gedung yang aku bangun sendiri. Mengapa aku sebodoh ini membiarkan ini terjadi? Mengapa aku hanya memikirkan keuntungan, tanpa peduli keuntungan datang dari mana! Oh Tuhan ampuni aku…!

(BERJALAN KE CENTER PANGGUNG) Manusia mana yang bisa menentukan nasibnya? Garis tangan memang sudah ditoreh sejak lahir, sebaik apapun garis tangan  itu tidak akan ada artinya tanpa perjuangan. Aku tidak diwariskan harta yang melimpah dan derajat yang mulia, aku datang dari keluarga yang tidak jelas trahnya. (MENGEPALKAN TANGAN) Hidup tidak hanya mempertahankan hidup tapi juga harus bisa melakukan perlawanan. Bila aku tidak melakukan perlawanan, maka sudah barang tentu nasib Arya Kamandanuh inj akan  jadi gelandangan di tanahnya sendiri. Digusur dan di campakkan dengan atas pembangunan.

(MENGINGAT DAN SEDIH) Tidaklah hartaku ini aku dapatkan jatuh gartis dari langit sana. Semuanya dari banyak keringat. (BERIBISIK) Tidak ada harta yang bersih, itu sudah pasti. Ya, aku tentu mencurinya. Berapa banyak yang sudah darah mengalir dari harta yang aku kumpulkan. Harta yang bau amis! Aku telah tumbuh sebagai monster pengisap darah! Berapa banyak aku gusur untuk kepentingan bisnisku. Aku menutup mata dan telingaku jika mereka berteriak! (MENUTUP MULUTNYA) Oh, mengapa mulutku ini tidak bisa diam? Ingin nyerocos tanpa henti! Apakah ini… (RAGU-RAGU) pertanda kematian akan tiba? Oh tidak, aku belum siap untuk mati. Aku tidak ingin mati sekarang, mati ketika bisnisku sedang merintis ke manca negara.

(KAGET SETENGAH MATI). Siapakah itu yang melintas secepat cahaya? Malaikat maut kah? (MENGGIGIL) Ya Tuhan… Jangan ambil nyawaku. Darahku masih kotor. Belum sempat aku bersihkan. Aku belum bertaubat ya Tuhan! (DUDUK DENGAN DENGKUL DI LANTAI) Hartaku yang aku simpan di berbagai bank di penjuru dunia masih kotor. Kalau sudah aku bersihkan silakan ambil nyawaku!

(SADAR) Mengapa aku setotol ini?  Mengapa aku harus takut dengan bayang-bayang kematian? Tidak! Aku tidak perduli anak-anak akan merebut harta yang kuwarisi! Aku adalah laki-laki gagal dalam urusan cinta. Harta banyak, tapi selalu di bawah bayang-bayang, Angle istriku. Dialah penentu hidup. Dimana-mana ada mata-mata Angle! Bahkan, sampai urusan teken kontrak Angle lah yang sebenarnya penentu. Aku hanya teken. Beres! Bertahun-tahun aku jadi robot. Mati rasa terhadap cinta. Aku ingin seperi laki-laki lain, punya wanita dimana-mana.(GENIT)

(KILAT MUNCUL)  Cahaya apa itu? Kilat! (SUARA RINTIK LAMAT-LAMAT DAN MENENGADAKAN TANGANNYA) Germis! Cukup lama tangan ini tak menyentuh rintik hujan. (TERTAWA)

(SUARA HUJAN KIAN KENCANG) Sudah hampir sepuluh tahun aku dilarang mandi hujan. Ah, persetan dengan larangan. Aku ingin seperti dulu lagi, ketika usiaku  kanak-kanak di kampung ini. Apakah aku tidak boleh mandi hujan di kampung ku sendiri yang kini sudah binasa diganti hutan beton yang aku bangun sendiri?

(MEMBUKA JAS, KEMEJA DAN CELANA  DAN DITARUHNYA  PADA SEBUAH POJOK  KINI YANG TINGGAL KOLOR. LANGSUNG MANDI HUJAN. PETIR TERUS MENYAMBAR-NYAMBAR. HUJAN KIAN LEMBATNYA).

Inilah kenikmatian itu! Inilah kebahagian itu! (LANGSUNG BERGULING-GULING. DAN SESEKALI KAKINYA KE ATAS MENANTANG HUJAN SEMBARI BERSORAK SORAI SELAYAKNYA ADA TEMAN-TEMAN MASA KECILNYA YANG SEDANG BERMANDI BERSAMA.

Ayo Tong, Pi’i, Ucup dan Mael kita menari. Hari ini kita liburan sekolah! (LAYAKNYA ANAK-ANAK BERGANDENGAN TANGAN). Hari kita bebas! (TIBA-TIBA ARYA INGAT SESUATU DAN LALU DIA TERDUDUK DI CENTER PENTAS) Tapi dimana kalian semua wahai kawanku? (MENANGIS). Saat ini  aku butuh kalian? Betapa aku selama ini telah melupakan kalian! Puluhan tahun lembaran hidupku  telah ditulis dengan baik oleh penulis ternama di negeri ini sebagai biografi. Buku biografiku menjadi best seller. (TERTAWA)  Penulis itu tidak pernah tahu kisah sejatiku. di kampung ini! Untuk mempromosikannya soal kecil, apa yang aku tidak  punya TV, media cetak, on line, mall sampai apapun aku punya!

(SUARA HUJAN MULAI MENIPIS) Hujan sudah redah! Aku harus kembali ke kehidupanku lagi! Sebelum Angle menemukan aku, baiknya harus segera hambus dari disini! (BERGEGAS KE TEMPAT BAJUNYA DAN MENGAMBIL TAS KECIL DAN MENGELUARKAN HANDUK KECIL DAN MELAP TUBUHNYA)

Bila dokter Siska  melihat aku  begini pasti sudah mencak-mencak. (MENIRUKAN) Bapak nanti bisa opname, bapak nanti sakit, bapak nanti masuk angin! Tapi perduli setan dengan semua itu! Aku ingin tetap disini! Bebas! Dokter Siska,  aku tahu  kau bukan mendiagnosa penyakitku, tapi mau mendiagnosa hatiku. (TERTAWA). Aku tidak aka terjerat dengan diagonasmu. Kalian semua  sama saja! Setelah hatiku tertawan, lalu kalian berharap penyakit segera datang dan membiarkan aku mati di kamarku  yang dingin! Dasar tikus got! Tidak aku biarakan itu terjadi! Tak kubiarkan kalian merampas hartaku!

(KESAL) Tapi  jika aku melihat wajah dokter Siska segala masalah jadi hilang. Damai. Ah, perasaan apa ini? Aku sudah merasa tidak bisa melakukan apa-apa!

Ah, dia hanya peduli pada kekayaanku, bukan diriku utuh, lahir dan batin. Bisa saja dia suntikan virus. Lalu kematikan  akan datang perlahan? Tidak. Tidak! Aku tidak boleh berkhayal tentang dokter pribadiku  yang punya teja di betisnya. Yang benar aku harus setia kepada istriku. (DIAM SEJENAK)

Tiga putraku pewaris tahta  harus bisa melanjutkan kerajaan bisnisku. Harus kian berjaya.  Anak-anakku bisa itu. (MELIRIK ). Sebenarnya aku tidak perlu ke sana lagi untuk meresmikan kondonium. Aku telah menjadi icon. Simbol.

(MEMANDANG POHON PISANG DAN MENDEKATINYA) Masih ada satu lagi yang masih ranum. (GEMBIRA).  Sebelum pisang ini ditebang, aku harus memakannya sebagai pisang terakhir di tanah moyangku. (MEMETIK DAN MEMAKAN LAHAP)

Hidup ini adalah rutinitas. Aku harus melakoninya. (MERAPIKAN KOSTUMNYA YANG SUDAH TAK RAPI LAGI). Aku tidak boleh menoleh ke belakang lagi dan harus maju terus ke depan. (BERJALAN KE TEMPAT IA MASUK TADI)

LAYAR TURUN (dafri Jh)

Pisang Terakhir pernah dipementasan perdana pada Sabtu, Maret 2020, pukul 19.30 WIB di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jalan Cikini Raya 73, Jakarta Pusat ini dilakoni oleh aktor Surya Dharma dengan sutradara Rizal Siregar.

*Penulis memperbolehkan untuk dipentasakan, agar diinformasikan ke e-mail: rizal_siregar@yahoo.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *