Formappi: UU di DPR Belum Satu Tahun Berlaku Sudah Mau Direvisi

Lucius Karus

JAKARTA – Peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi), Lucius Karus mengatakan, bahwa keberadaan Undang Undang Nomor 3 tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (IKN), yang disahkan pada tanggal 15 Februari 2022, tiba-tiba direvisi.

Ia menilai, bahwa kualitas UU tersebut belum maksimal. Sebab katanya, baru saja disahkan DPR, lalu direvisi kembali.

Bacaan Lainnya

Hal tersebut dikatakan Lucius saat jadi pembicara dalam Forum Legislasi bertajuk “Menakar Ketercapaian Target RUU Prolegnas Prioritas tahun 2023”, di Media Center DPR RI, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (7/2/2023).

“Undang-Undang Ibu Kota Negara, apa itu? Disahkan DPR tanggal 15 Februari 2022. Belum satu tahun berlaku sudah mau direvisi,” kata Lucius.

Dikatakannya, merevisi sebuah undang-undang dalam waktu yang tidak terlalu lama, mengindisikan ada sesuatu yang dalam prosesnya atau materinya bermasalah.

Fakta sebaliknya menurut Lucius, terjadi dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang seharusnya segera dibahas revisinya, tapi DPR RI tidak melakukannya.

“Apa harus menunggu banyak korban Undang-Undang ITE dulu, baru dikebut pembahasanya?” pungkas Lucius.

Dalam kesempatan yang sama, Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Firman Subagyo menolak capaian pembahasan Undang-Undang (UU) diukur dengan persentasi.

Baleg DPR RI, kata politisi Fraksi Partai Golkar itu sudah menerapkan pembahasan UU mengedepankan kualitas bukan kuantitas.

“Kalau kita bicara tentang pembuatan UU, saya kurang sepakat, kalau segala sesuatunya itu diukur bobot persentase. Kami (Baleg) sudah menerapkan pola-pola agar prinsip pembahasan UU lebih mengedepankan masalah kualitas UU, bukan kuantitas, sehingga kalau ada ukuran bobot prosentase kami kurang sependapat,”ungkap Firman Subagyo.

Sekalipun demikian tambah Firman, banyak sekali dari berbagai UU yang menurut pandangan pemerintah dan DPR sudah dianggap kualitasnya bagus, tetapi mendapat judicial review (JR) dari masyarakat.

“Memang ini hak politik daripada masyarakat, dan bahkan ada beberapa UU yang juga telah di JR kemudian dibatalkan pasal-pasal tertentu oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Firman mengatakan, semua anggota Dewan harus menyadari bahwa UU bukan dibuat untuk kepentingan daerah pemilihan (Dapil), tapi kepentingan nasional, bangsa dan negara.

“Ini yang harus disadari seluruh oleh anggota, baik itu dari DPR RI, DPD RI maupun juga pemerintah,” ujarnya. (gardo)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *