Di Padepokan Dedy Luthan Dance Company

Foto: Pentas Silaturahmi 3 di Padepokan DLDC. (tatan daniel)

Oleh Tatan Daniel

BEBERAPA bulan yang lalu, mBak Elly Lutan sudah mewanti-wanti, “Monggo, hadir ya..!” Dan kemarin, Sabtu malam (13/7/2019) ketika hari sudah gelap, saya pun sampai di Padepokan Dedy Luthan Dance Company (DLDC), di sebuah sudut yang asri di kawasan Kebagusan, Jakarta Selatan.

Seketika saya merasa seperti pulang ke rumah. Menemukan kerimbunan yang nyaman. Foto-foto hitam putih yang menawan, bidikan mas Fabianus Koesoemadinata, menampilkan momen pertunjukan yang pernah digelar SLDC: Banowati Jalinan Golek, Gandrung Engtay, dan Jalan Cintamu Tak Berujung, terpajang di halaman dan teras rumah.

Di pojok rumah, pendopo berangka kayu yang disiapkan sebagai panggung pertunjukan, tampak remang. Silhuet tamu, memenuhi halaman.

Secarik layar menjuntai di tengah pendopo. Menayangkan video pertunjukan dan wajah seorang maestro tari yang tepat lima tahun lalu berpulang, Hendrawanto Panji Akbar, atau dikenal dengan nama Dedy Luthan. Bersandar di tiang, di antara keremangan, mBak Elly melambai ke arah saya.

Ini hajatan Pentas Silaturahmi 3 di Padepokan DLDC. Menampilkan sejumlah ekspresi kesenian terpilih, duo pemusik Teguh ‘n Friend, lakon dari Kelompok Pojok yang disutradarai oleh Brilliantika Tamimi Rutjita, dan tari tunggal oleh Irwan Dhamasto dari Surakarta.

Hajatan ini mempertemukan pegiat dan penikmat seni, sekaligus sebagai persembahan doa untuk Dedy Luthan.

Dibuka dengan lantunan ‘Imagine’ oleh Tjikini Choir, dengan konduktor Tanti Hudoro, suasana jadi terasa khusuk. Doa pun dipanjatkan, setelah penampilan oleh warga DLDC. Dilanjutkan oleh kelompok vokal Bianglala, yang melantunkan ‘It’s So Hard To Say Good By To Yesterday’, yang membikin merinding. Saya duduk di sebuah sudut menyesapi suara bening mereka menyanyikan lagu yang mengingatkan pada seorang Dedy.

Pentas diakhiri dengan diskusi. Saya yang bukan penari, sungguh merasa terhormat diberi ruang leluasa, bersama Dr. Fabianus Koesoemadinata, menyampaikan beberapa ikhwal tentang Dedy Luthan, dan pertunjukan malam itu.

Bahwa Dedy Luthan, bagi saya bukan sekedar penari ataupun koreografer. Tapi, lebih dari itu ia sosok yang liat memperjuangkan ruang hidup dan kesenian tradisi.

Perjalanannya menembus rimba dan perkampungan orang-orang yang bermukim di ceruk Indonesia, mulai dari Aceh, Nias, Toba, Jawa, Banyuwangi, Bali, sampai perkampungan masyarakat Dayak Modang dan Kayan, menghabiskan puluhan tahun usia, dalam sebuah proses kreatif yang seakan tak kunjung usai, menegaskan keberpihakannya itu.

Menurut saya, ia tak sekedar belajar dan menafsir berbagai pola gerak tradisi yang ditemukannya. Ia pun tak semata menghayati keheningan, detak lembut dedaunan yang gugur di tengah rimba itu. Atau menyimak desir sungai sejuk jernih, desau angin, deru awan, atau pijaran milyaran bintang di langit pedalaman yang jernih itu.

Tapi ia juga mendengar suara gergaji yang mencabik pohon, gemuruh hutan yang diruntuhkan, lolong tanah dan batu-batu yang digangsir dan menyisakan lobang-lobang, kuburan tambang yang menganga, hewan-hewan yang terluka, pekik manusia-manusia yang kehilangan habitat dan ruang budayanya. Dan pasir, serakan pasir yang menjadi ampas keserakahan..

Spirit Dedy Luthan, jejak perjalanan berkeseniannya, terasa makin kontekstual, di hari-hari yang menyesakkan kini, ketika banyak orang memaksakan penunggalan budaya, penyeragaman budaya, dan meniadakan keindahan dan harmoni yang diwarisi beribu tahun oleh kaum pedalaman yang murni itu.

Ya, Dedy tak berhenti sebagai sosok. Tapi ia adalah ide dan gagasan yang akan selalu menyemangati dan menghidupi perjalanan kebudayaan kita.

Adapun Mas Fabi menegaskan bahwa bagaimanapun, dan dalam kondisi dan situasi apapun, semangat dan energi kreatif harus bisa terus dijaga agar tetap menyala. Meski itu hanya dalam helatan sederhana seperti yang terjadi di Pentas Silaturahmi di DLDC. Sebuah ruang nyaman dan amat terbuka untuk melakukan sesuatu, yang terasa mewah dan mahal, justru di ibukota negeri ini.

Terima kasih, mBak Elly, mas Harris Syaus, mBak Maryam, dan semua sedulur DLDC, atas hati yang jembar, kehangatan jiwa, dan sajian seni yang telah memperkaya batin saya.

Di gerbong kereta api, sepanjang Lenteng Agung sampai Manggarai, saya tercenung, dan berkelahi dengan berbagai silang pikiran dalam kepala saya tentang pesan filosofis Dedy Luthan, beberapa waktu sebelum kepergiannya, ketika mempersiapkan pentas istimewanya yang terakhir, “Hutan, Pasir, Sunyi”, di hutan Bogor lima tahun lalu, berkenaan dengan soal-soal kemanusiaan, masa depan pohon dan rimba, ritus tradisi, kepedulian kaum belia akan pentingnya penyelamatan kekayaan tradisi, dan sebagainya. (**)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *