USAI sudah resepsi Sri Kemala dan Dede Sukendar, malam purnama yang bersih.
Tak ada gangguan yang ingin mengacaukan acara sakral tersebut.
Acara itu dipilih oleh Marissa setelah mendapat bimbingan dari dua guru suaminya, Panglima Mejin dan Panglima Datuk Sukaraja.
Menurut guru suaminya, Husein tiap malam purnama, di rumah saja, mengobati puaka kampungnya. Minimal seminggu dia berkurung di rumah.
Tepat pukul 08.00 Wib, Marissa, Sri Kemala, Tan Tualang, Dede Sukendar sudah berada di stasiun kecil Kereta Lelawangsa. Mereka hari itu juga ke Tanah Pasundan.
Hanya Tan Bima dan dr Tuti yang tak kelihatan.
Marissa dan Tan Tualang mampu bersikap tenang, air muka mereka bening. Padahal pikiran mereka bagai gemuruh ombak laut China Selatan.
Arifin Scot, Datuk Porman Pagaruyung, Agus datuk Timbang Lawan hanya mampu melambai tangan, melepas sahabatnya ke tanah seberang.
Mereka bersyukur karena Dede Sukendar saudagar yang tak kedekut,
Dia menghargai Seniman.
Kereta semakin menjauh, menghilang pandang kawan seniman yang tak ikut menyelusuri rel tua, kereta tua yang masih laju dipacu.
Binjai tertinggal jauh
Teman-teman seniman masih ditahan Mat Kilau, menikmati kopi, Milo dan susu panas.
“Tak ada yang abadi
Kecuali keabadian itu sendiri”, Porman membatin, (**)
Binjai, 080221
tsi taura