Aktris Wan “Ndoet” Hidayati Berlakon Monolog ‘Prita Istri Kita’ Karya Arifin C. Noer

Foto: Wan Hidayati (ist)

WAN “Ndoet” Hidayati lama tak naik panggung. Setelah sekian lama tak ‘menapak’ di panggung teater, kini lewat lakon monolog ‘Prita Istri Kita’ Karya Arifin C. Noer, Produksi Teater Nasional Medan (TENA) akan tampil di Maple Theatre Grand Aston City Hall Medan. Pertunjukan selama dua hari, 15 -16 Mei 2016, Pukul 19.30 WIB ini bagi Wan Hidayati menancakapkan dirinya masih eksis sebagai seorang aktris.

Foto: Wan Hidayati (ist)
Foto: Wan Hidayati (ist)

Berlakon monolog tentulah mengeluarkan enerji yang tidak sedikit, jika dibanding berlakon dalam pementasan teater. Ternyata lama tak menginjakkan kaki di panggung teater, tak membuat Wan Hidayati lupa dengan dunia seni peran. Sebab, sebagai seorang pekerja yang begitu peduli dengan lingkungan membuatnya sehar-hari terbenam dengan urusan limbah dan lingkungan.

Bacaan Lainnya

Bagi Ndoet, melakoni monolog bukan kali pertama. Pada tahun 1980 dia pernah melakukan hal yang sama pada Pesta Monolog Medan ke-2, yang diprakarsai Bahman Signal dan kawan-kawan, dimana Dahri Uhum Nasution dan Darwis Rifai Harahap bertindak selaku mentor penyelenggaraan. Selain itu di dunia akting pentas Ndoet pernah memperlihatkan kepiawaiannya bersama TENA lewat naskah ‘Sok’ saduran Taguan Hardjo dari karya Moliere, dan disutradarai Buoy Hardjo, di Taman Budaya Sumatera Utara (d/h Bina Budaya) pada tahun 1994.

“Pertunjukan ini bermula dari hasrat Ndoet sendiri. Tampaknya Ndoet ingin menjadikan kerja keseniannya sebagai salah sebuah bentuk pengabdian hidupnya. Terbukti, ia memang tak bisa lepas dari urusan berkesenian”, kata sutradara lakon monolog ‘Prita Istri Kita’ Yan Amarni Lubis.

Momen ini, lanjut Yan, sekaligus menandai kebangkitan TENA berkarya, menjelang Hari Kebangkitan Nasional 2016”.

SINOPSIS

Prita terbuai nafsu duniawi. Dikatakannya Mas Broto sebagai “lelaki pengecut yang bodoh”, karena suaminya yang guru bergaji kecil itu menolak ‘amplop’ pemberian seorang juragan, agar suaminya mau menolong anak juragan itu naik kelas. Selain itu, dibilangnya Mas Broto seperti ‘seekor harimau bertenaga cacing’. Di lain sisi, Prita sudah menyusahpayahkan dirinya masuk ke ruang fatamorgana. Menyengaja alam fikirannya dininabobokkan memori romantik berbungkus semboyan percintaan “hidup seranjang, mati seliang”, bersama Mas Beni Brewok, bekas pacarnya. Sampai akhirnya suaminya mengetuk pintu, dan menyadarkan Prita dari imajinasinya. Salah saya, sesal Prita, berulang. Kesalahan saya yang terbesar selama ini.

Selalu membayang-bayangkan hidup ini, lanjutnya. Dan di sekitaran pukul 12.30 Wib hari itu, seperti biasa Prita pun menyambut manis dan mesra kedatangan suaminya pulang mengajar. Dan seperti biasa pula, di meja makan telah dihidang Prita makan siang buat pasangan hidupnya itu. Sambal secoet, tempe goreng lima kerat, sayur bening daun bayam sepinggan, bersekutu membentuk menu tiap hari, tiap saat. Namun realita ‘ekonomi dan ranjang’ rumah tangga mereka telah disyukuri Prita. Telah dinikmat serta dicukupinya apa yang ada kini.

“Prita Istri Kita”, ditulis Arifin pada tahun 1967, kemudian dipersembahkannya sebagai mas kawinnya kepada Nurul Aini, istri pertamanya. Dalam satu bagian dari cerita ini, ada adegan bercumbu rayu. Namun Ndoet berbijaksana melakoninya, karena hal itu sesuai tuntutan lakon, atau cerita. “Kan ada sutradara dan tim, yang mengemas dan menyiasati adegan tersebut agar ditampilkan tak secara vulgar”, kata Ndoet sembari tertawa, menjawab pertanyaan penulis. “Doakan ya, biar aku mainnya bagus, dan pertunjukan TENA lancar dan sukses”, kata Ndoet melanjutkan. Terkait dorongan moril, hasil kontak Yan Amarni Lubis dengan Embie C. Noer (adik Arifin C. Noer) melalui Facebook dan Hape, beliau menyampaikan dukungannya. Semoga hasilnya sukses, dan sesuai dengan yang diharapkan Mas Yan, sahut Mas Embie.

“Siapapun lelaki yang menjadi istrimu, berikanlah kesetiaan hanya padanya”. Kalimat tersebut, sejatinya milik istri kita. Karena intisari monolog Arifin ini, adalah memberikan pengertian bahwa kehidupan dan masalah yang dialami Prita merupakan refresentasi kehidupan dan masalah yang kerap terjadi dalam kehidupan kita. Barangkali, itulah alasan Arifin kenapa ia memberi nama Prita pada tokoh dalam monolog, yang diangkat TENA pada produksinya kali ini. Prita, bisa jadi itu akronim dari, Pribadi Istri Kita, kemudian bersemayam menjadi ‘Prita Istri Kita’.

TENA

Dengan motto “akrab ke dalam, simpati ke luar”, serta tradisi diskusi “meeting of mind”, TENA telah mengangkat sejumlah naskah drama standar karya sejumlah penulis drama ternama baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Setelah sekian lama tak berproduksi, TENA kembali menyambangi publiknya lewat reportoar yang dilakoni Wan “Ndoet” Hidayati.

Dalam kerja produksi kali ini, TENA juga melibatkan anggota-anggota lamanya disamping anggota-anggota mudanya. Diantaranya, Buyung Bizard (Distributor Undangan) bersama Ayub Badrin, didampingi Hadi RA (Penata Artistik), Syahrial Felani (Penata Koreo), Irma Karyono (Pimpinan Panggung/Penata Cahaya), Ade Dharma (Penata Musik Ilustrasi dan Efek), Ana Nurlela Nasution (Penata Rias/Kostum), Andy Mukly (Pimpinan Unit), serta Amat Binjai, Sukria Citra dan Ozie Fauzie. Dan tak boleh diabaikan peranan Penata Musik, yang dipercayakan pada Mitra Hutagalung dan Nadya Hutagalung (putra-putri Ndoet), bersinergi dengan Zaini, seorang teman bermusik mereka.

(rl/gr)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *