13 Puisi Ace Sumanta

Foto: Ace Sumanta. (ist)

Puisi: Ace Sumanta
TANAH LEMPUNG

Di mana bumi dipijak
Di situ langit dijunjung
Sudah melekat setiap pribahasa di jadikan pengantar saat kebekuan dalam berfikir.

Bacaan Lainnya

Tak selalu matahari yang kau rasakan di siang hari menjadi panas
Boleh kau jadikan renungan di dunia lain
Perbedaan dirimu tak menyukai takkan merubah saat kau mencintai.

Ingatlah saat masa lalu menyimpan keceriaan
Tak terasa ada luka
Tersenyum
Menari-nari saat angin dan matahari itu membentuk watak yang tergali dari tanah kau susun sendiri.

Membuka wajah sendiri
Menutup wajah lainnya karena dendam
Pancaran hari ini mengingatkan masa lalu yang tak mampu menterjemahkan refleksi.

Tanah itu kini menjadikan dirimu merubah masa kelam manjadi ruang pameran.
Di situ dirimu membedah wajahmu.
Sesukamu tak selalu sama dengan kainginan sebuah bingkai.
Di tengahnya matahari dan rembulan bercumbu waktu sebelum tenggelam menyembunyikan senyum sumir.
Tautan rindu
Kelam mewarnai kegelisahan
Mimpimu masih melekat dalam fikiran
Mencoba mengurai sendiri walaupun perbedaan warna tanah itu yang kaugenggam.

(Bogor, 26 Juni 2019)

Puisi: Ace Sumanta
MEGAPUSPA RAJA LAYANG

Berita kesuburan Tanah Nusantara
Perlambang keperkasaan raja-raja dalam pewayangan
Belajarlah pada gunung untuk kebajikan
Belajarlah pada bumi untuk kehidupan
Di hati orang-orang memahami dirinya
Warna dan aroma membuat gairah untuk membuka pintu Di baliknya jendela kehidupan sebagai pilihan.

Tak perlu kau ragukan
Tumbuh di hati subur tanpa kedengkian.

Megapuspa cahaya purba dari Sang Pertapa
Menuju niskala manca buana
Jika kau pelihara
Hatimu kembara dari dua cahaya
Biarkan iya subur di hati
Pesona tak terbenam
Pewaris keabadian.

(Bogor, 25 Juni 2019)

“SATATA SARIKSA” KOTA PUSAKA
Karya: Ace Sumanta

Perjalanan kehidupan
Menapaki peradaban suatu kota yang telah mengawali dengan lahirnya kepekaan batin.

Lorong waktu
Langit Pajajaran memerah saat dunia membuka mata
Cakrawala meretas membuka kepribadian
Pajajaran tetap tersenyum tiada luka karena sebagai kota merdeka memiliki etika dan nudaya penuh kelola

Ia Raja wibawa
Mampu membaca cakrawala agar rakyat sejahtera
Menanamkan rasa asih, rasa asah dan rasa asuh.

Ia Raja di Raja..
Penguasa Pajajaran bukan berarti sewenang-wenang penentuan segala di tangannya melainkan penuh cinta kasih saling mengayomi untuk berbuat agar Pajajaran motekar
Pajajaran tentram penuh wibawa
Kelak rakyat tak lagi menderita apalagi berpenyakit kusta.

Mari kita saling menata
Mari kita saling memeriksa dan saling
menjaga wibawa semesta
Pajajaran anyar ragam pranata dari pancaran Sunda Kawawa.

(Bogor, 3 Juni 2019)

TOPENG KEMERDEKAAN
Karya: Ace Sumanta

(aku pancasila…aku indonesia)
(aku pribumi…aku orang asing)

Kaca pecah
Tembok retak
Bumi mulai tertidur
Melupakan jati diri karena nilai persaudaraan hanya ada pada falsafah untuk kesejahteraan.

Teks proklamasi menjadi fosil yang tersimpan rapih di museum-museum dan galeri kota.
Kain Dwi Warna menjadi kusam
Ketika Fatmawati menjahitnya dengan cinta pada negeri.
Cinta pada Soekarno sang Bapak tercinta.

Jutaan anak-anak masih belum bisa menulis dan membaca karena sarana yang tiada
Aliran sungai deras
Debur ombak membuat hati terbungkam
Kita telah lupa nenek moyang kita adalah bangsa pelaut sejati
Tangguh mendaki gunung
Tahan api dan air racun bergolak menjadi bencana.

Mana topeng yang kau simpan kemarin
Telah berubah menjadi kematian tiba-tiba
Sementara tulang belulang belum terbaca di pijak kaki Bhineka Tunggal Ika.

Mana topengku
Mana topengmu
Mana topeng kita
Jangan pernah duka tak ber-asa lupa semesta.

Segerombolan manusia entah dari mana ia berasal
Membagi-bagikan kue bolu
Tanpa keadilan
Punah kejujuran termakan kemunafikan
Aku
Anda
Kalian tak mampu membuka derai cita-cita kemerdekaan.
Hanya sebatas mimpi
Berbicara pri-kemanusiaan dan pemerataan pembangunan hanya mengenyangkan sekelompok manusia yang mengubah ritme lagu Indonesia Raya
menjadu Aku Kaya di Indonesia.

Segera buka topengmu
Letakkan di meja negeri
Lintasan gema khatulistiwa
Gemah Ripah Loh Jinawi
Menjadi pusar negeri repeh rapih.
Air mata
Menjadi pilu kapan terhapus senja menjadi dunia kemuliaan.

(Bogor, 29 Juni 2019)

JEJAKMU KELAM
Karya: Ace Sumanta

Kubertanya pada mimpi semalam
Jejakmu bumi berbatu dan berair kelu
Tanpa membuncah rindu saat menepi di sungai muaranya lautan
Bumi manis pasaknya bebatuan
Rindu kekasih cintanya angin berdesir.

Jejakmu ada di sajaku setelah sujud pada-Mu
Ku tahu perjalanan kelam membuka matahari terbitkan bintang bernarasi menyinari ranting-ranting di tepian lautan sunyi
Ia berbicara pada waktu berbeda
Generasi demi generasi membuka luka yang tak mau berduka
Kisah jejakmu mencari takdir
Tabir tersenyum meniti masa
Aku ada di tengahmu saat berduka
Jejaku tersembunyi hingga senyum membuka raga
Aku bersamamu.

(Jejak Situs Batutulis, 30 Juni 2019)

HIKAYAT TANAH AIR
Karya: Ace Sumanta

Negeriku tengah terluka
Banyak hal yang tak kunjung selesai di negeri yang katanya subur makmur gemah ripah loh jinawi
tentram adem repeh rapih.

Begitu sedih di rasakan sepanjang setengah abad menikmati alam Indonesia raya di bawah panji Sang Merah Putih.
Tentu saja orang tua kita dulu lebih pedih dan sedih.

Setelah kemerdekaan tercapai
Ketidak adilan dan penghianatan terjadi.
Bukan karena penjajah asing melainkan aji mumpung dan ibarat lintah mengisap tubuh si empunya.

Di sekitar kita diberi amanah malah menjadi penghianat
Terkenal karena maling dan senang menjadi penipu.
Begitu juga diberikan jabatan malah korupsi dan membuly ingin selamat diri sendiri.

Negeri adem ayem tentram malah senang kolusi, korupsi dan nevotisme.
Bahkan senang mengumpulkan istri-istri ibarat menabung sebagai pundi-pundi.

Begitu takdir menyelimuti negeri terkaya dan subur tanahnya, malah lebih senang meminjam dari hal terbesar hingga terkecil.
Negerimu juga negeri kita tengah dirundung kesedihan
menumpuk hutang juga beban alam yang katanya negeri ke depanya ini entah berantah
Kawah candi dan sudah berubah perumahan layak huni hingga termewah
dari hp hingga tercanggih sekalipun.
Sudah diatur berdasarkan hak paten dan undang-undang yang dicari celah untuk dilanhgar.

Anak-anak yang idealisme sudah pasrah terhadang teknologi canggih 0.5

GUGUR SEBAGAI SYUHADA
Karya: Ace Sumanta

Berujar jauh dari hoax
Apalagi penista agama dan kebencian
Bergerak berdasarkan hati nurani karena ada cahaya kebenaran yang disembunyikan.
Keluarga mengajarkan kejujuran walau kerap kami dilanda kekurangan apalagi pendidikan kami hanya pas-pasan.
Keluarga mengajarkan tabayun pada guru-guru yang mencintai tanah air.
Guru yang membimbing hati peka untuk kebenaran tak ada sebesar debu pun keluar dari koridor kebenaran sesuai Al-Qur’an dan Al-Hadist.

Pemimpin yang sesuai aturan dan melaksanakan aturan secara kaffah
Tumbuh dari jiwa patriotisme dan nasionalisme untuk berdikari tanpa harus menggadaikan harga diri.

Kami hadir untuk menjadi ujung tombak dan mata panah kebenaran walau kelak kami dianggap mati sia-sia.
Kami hanya meminta tegakkan kebenaran, keadilan dan kejujuran karena amanah para pendahulu kita.
Para pejuang tanpa lelah siang malam dalam merebut kemerdekaan.
Kini mereka terusir dari hati kita
Setelah merdeka tergapai karena para pemimpin kini sudah melupakan perjuangan demi duduk di kursi tanpa memeras otak dan nurani yang jernih.

Subutir peluru tembus di tubuhku
Membela kejujuran dan keadilan agar tetap ruhnya bersemayam di negeri tercinta.
Selongsong senapan bersarang di kepalaku
Pertanda cita-cita bangsa merdeka masih ada diantara kita.
Kematian yang tak kupinta
Begitupun mati syahid bukan cita-cita
Kami ikhlas dan mengerti negeri ini utuh di ujung nyawa kita.

(Jakarta, 22 Mei 2019)

DI MUSHOLAH RUMAH SAKIT SALAK KU BERZIKIR
Karya: Ace Sumanta

Setiap masuk ke pintu mushola terbuka
Begitu juga jendela terbuka terbuat dari beton seperti ala bangunan arsitek F. Silaban model yang kukenal.
Getar bibir terasa haus untuk melakukan sholat sunah dan zikir.
Subuh tiba sholat fardhu dan zikir.

Dahsyat terara dalam dada
Hati merindu pada Sang Maha Kuat dan gagah perkasa
Selepas zikir tadharus mengalir waktu menunggu pagi.
Mengingatkan masa lalu ketika di kampung memasuki kali untuk berwudhu dan menyalakan lampu kelenting di surau tua aku mengaji
Terasa Indah alam masih begitu bersahaja
Suara burung nyaring menjawab ayat perayat kuucap terasa nikmat
Hati membumi membaca waktu lestari
Ibarat menatap lautan luas Ujung Kulon
Angin mendesah memantulkan gema di pepohonan kokoh namun bersahabat dengan pasir.

Mengenang petkotaan saat ini
Tak ragu karena untuk waktu berdialog pada Tuhan Agung
Zikir hingga suara tersembunyi masuk ke lubuk pekat.
Laufilmahfud bergema
Memberikan harap kan membuka surga
Menepis asa merajut waktu tersisa
Bercengkrama tanps dusta
Zikir memberi ruang
Takbir dan tahmid membuka peluang
Hidup untuk bahagia lahir bathin.

(Salak, 28 Mei 2019)

GUGUR SEBAGAI SYUHADA
Karya: Ace Sumanta

Berujar jauh dari hoax
Apalagi penista agama dan kebencian
Bergerak berdasarkan hati nurani karena ada cahaya kebenaran yang disembunyikan.
Keluarga mengajarkan kejujuran walau kerap kami dilanda kekurangan apalagi pendidikan kami hanya pas-pasan.
Keluarga mengajarkan tabayun pada guru-guru yang mencintai tanah air.
Guru yang membimbing hati peka untuk kebenaran tak ada sebesar debu pun keluar dari koridor kebenaran sesuai Al-Qur’an dan Al-Hadist.

Pemimpin yang sesuai aturan dan melaksanakan aturan secara kaffah
Tumbuh dari jiwa patriotisme dan nasionalisme untuk berdikari tanpa harus menggadaikan harga diri.

Kami hadir untuk menjadi ujung tombak dan mata panah kebenaran walau kelak kami dianggap mati sia-sia.
Kami hanya meminta tegakkan kebenaran, keadilan dan kejujuran karena amanah para pendahulu kita.
Para pejuang tanpa lelah siang malam dalam merebut kemerdekaan.
Kini mereka terusir dari hati kita
Setelah merdeka tergapai karena para pemimpin kini sudah melupakan perjuangan demi duduk di kursi tanpa memeras otak dan nurani yang jernih.

Subutir peluru tembus di tubuhku
Membela kejujuran dan keadilan agar tetap ruhnya bersemayam di negeri tercinta.
Selongsong senapan bersarang di kepalaku
Pertanda cita-cita bangsa merdeka masih ada diantara kita.
Kematian yang tak kupinta
Begitupun mati syahid bukan cita-cita
Kami ikhlas dan mengerti negeri ini utuh di ujung nyawa kita.

(Jakarta, 22 Mei 2019)

Ace Sumanta
TANAH LEMPUNG

Di mana bumi dipijak
Di situ langit dijunjung
Sudah melekat setiap pribahasa di jadikan pengantar saat kebekuan dalam berfikir.

Tak selalu matahari yang kau rasakan di siang hari menjadi panas
Boleh kau jadikan renungan di dunia lain
Perbedaan dirimu tak menyukai takkan merubah saat kau mencintai.

Ingatlah saat masa lalu menyimpan keceriaan
Tak terasa ada luka
Tersenyum
Menari-nari saat angin dan matahari itu membentuk watak yang tergali dari tanah kau susun sendiri.

Membuka wajah sendiri
Menutup wajah lainnya karena dendam
Pancaran hari ini mengingatkan masa lalu yang tak mampu menterjemahkan refleksi.

Tanah itu kini menjadikan dirimu merubah masa kelam manjadi ruang pameran.
Di situ dirimu membedah wajahmu.
Sesukamu tak selalu sama dengan kainginan sebuah bingkai.
Di tengahnya matahari dan rembulan bercumbu waktu sebelum tenggelam menyembunyikan senyum sumir.
Tautan rindu
Kelam mewarnai kegelisahan
Mimpimu masih melekat dalam fikiran
Mencoba mengurai sendiri walaupun perbedaan warna tanah itu yang kaugenggam.

(Bogor, 26 Juni 2019)

DI UJUNG PELUPUK MATA
Karya: Ace Sumanta

Masih terasa cahaya indah saat kau terbangun dari mimpi
Gemerisik angin tiba menerpa di dada
Terasa zikir menggema
Terasa halus suara melalui telinga
Kehidupan begitu nyata bersandar pada dua peristiwa
Iya adalah hidup di dunia juga di akhirat bagi yang sudah sampai pada kemakrifatan-Nya.

Di kelopak mata itu
Cahaya meretas kesempurnaan pada kedipan terakhir
Do’a mesti berkumandang diluar dirinya.
Adakah masih ada ayat-ayat-Mu yang kemarin tersimpan dalam setiap amalan fardhumu.
Ia menunggu getar kesedihan jiwa yang belum mengenal-Nya.
Ada zat-Nya
Ada sifat-Nya
Ada asma- Nya
Ada af’al-Nya
Ia tak meronta
Ia tak nampak
Ia tak meminta kau hadirkan
karena ada dalam kedalaman mata hatimu.

Terasa rindu setiap waktu
karena Engkau pencipta waktu itu
Berkedip meredup kesemestaan paripurna.

(Bogor, 15 Mei 2019)

MUSLIM PALESTINA DI JALUR GAZA
Karya: Ace Sumanta

komplik yang tiada henti di jalur neraka
anak-anak dan orang tua tak kuasa berontak karena terpasung dengan blokade Israel.

Ribuan anak yatim menangis membuat warga dunia iba
penjajahan ekonomi dan sektor lainnya menyiksa bathin warga Palestina.

Hentikan perang Israel ibarat iblis raksasa melumat warga Palestina.
Ribuan yatim piatu, fakir miskin dan muslim menunggu ta’jil maupun makanan tiba jelang buka puasa.
Kesedihan dan kepedihan menggores luka bertahun-tahun tanpa henti
negara raksasa dunia membiarkan hidup luluh lantah tak berkesudahan.

Mereka anak-anak suci
lahir dari gempuran kekejaman Israel karena angkuh perluasan wilayah,
angkuh pengaruh di mata dunia yang nampaknya mulia
justru menjadi penista dan pembunuhan ras dan merampas kemerdekaan manusia.

Kemana mereka penghuni PBB
Kemana Islam dunia berlabuh
Kemana pejuang hak azasi dunia
Kalian telah mati suri tak mampu berbuat apa-apa.

Hanya do’a khusuk anak kecil di sisa reruntuhan rumah ibadah “kelak perang usai dan Palestina Merdeka Penuh, kan kubuat seribu masjid untuk negeriku dan kutulis sendiri batu nisan untuk hadiah orang tuaku di surga”.

(Mesjid Empang, 9 Mei 2019)

JEJAKMU KELAM
Karya: Ace Sumanta

Kubertanya pada mimpi semalam
Jejakmu bumi berbatu dan berair kelu
Tanpa membuncah rindu saat menepi di sungai muaranya lautan
Bumi manis pasaknya bebatuan
Rindu kekasih cintanya angin berdesir.

Jejakmu ada di sajaku setelah sujud pada-Mu
Ku tahu perjalanan kelam membuka matahari terbitkan bintang bernarasi menyinari ranting-ranting di tepian lautan sunyi
Ia berbicara pada waktu berbeda
Generasi demi generasi membuka luka yang tak mau berduka
Kisah jejakmu mencari takdir
Tabir tersenyum meniti masa
Aku ada di tengahmu saat berduka
Jejaku tersembunyi hingga senyum membuka raga
Aku bersamamu.

(Jejak Situs Batutulis, 30 Juni 2019)

Ace Sumanta dalam kesempatan dialog interkatif di radio. (ist)

BUDAYAWAN BOGOR
AKTIVITAS TANPA BATAS

Ace Sumanta, yang di kenal sebagai budayawan, penyair dan pemberdaya lingkungan. Ia lahir di Bogor, 13 Februari 1966. Budayawan penuh talenta dan penggerak Literasi Pojok Desa untuk Indonesia. Selain memiliki rumah baca, karya sastra baik puisi dan cerpen dimuat di banyak media masa.

Karya puisinya termuat lebih dari 15 buku Antologi Puisi menyebar di berbagai daerah Indonesia.
Begitu juga ide dan gagasannya kerap dijadikan referensi dari tingkat desa hingga pusat. Gerakan literasi dan cinta Cagar Budaya kerap persoalan yang harus diberdayakan.

Sebagai koordinator BKM tentu membantu masyarakat pedesaan dalam penataan lingkungan dan gerakan budaya cinta pusaka tani. Kerap menjadi narasumber bidang sejarah, budaya dan cara kepenulisan anak milenial.

Kunjungan budaya ke berbagai daerah di Indonesia menjadikan dirinya sadar bahwa NKRI itu sangat kaya peradaban dari warisan leluhur bangsa.

Indonesia patut dijaga dan diraksa. Rasa syukur dan inspirasi yang luhur mendirikan Yayasan Satya Citra Indonesia yang diambil namanya dari anak ke dua yang meninggal di usia 11 tahun ialah Satya Citra Indonesia (L).

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *