Warisan Tak Benda Ulos

Foto ilustrasi: Ulos (Tampe Raja Mangaraja Silaban)

Menurut Niessen mestinya Hari Ulos juga difokuskan kepada para petenun. Harkat para petenunlah yang perlu diangkat saat ini.

Oleh: Thompson Hs*

Bacaan Lainnya

Dua hari setelah Perayaan Hari Ulos di Medan, ada acara menarik dengan Seminar Ulos di STT HKBP Siantar pada 19 Oktober 2016. Di Medan waktu Perayaan Hari Ulos memang ada juga seminar di antara sejumlah kesemarakan kesan kebendaan ulos. Kebendaan ulos pada waktu perayaan itu termasuk pameran ulos terpanjang untuk ketiga kalinya, sepanjang 500 meter, dan dari jenis ulos yang dikenal dari motifnya bernama sadum. Sadum asal-usulnya dari Sipirok-Angkola. Jadi bukan ulos Batak Toba. Namun sangat berkembang di wilayah Batak Toba sejak ditenun di wilayah Silindung. Jadi aneh saja ulos sadum seperti ikon dalam Perayaan Hari Ulos di Medan, padahal sertifikat yang diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia pada tahun 2014 adalah untuk ulos Batak Toba.

Nah, itulah salah satu yang mencuat dalam paparan Sandra Niessen, narasumber di Seminar Ulos di Siantar selain Monang Naipospos. Sandra Niessen adalah peneliti ulos lebih dari tigapuluhan tahun dengan bukunya yang dikenal terakhir adalah Legacy of Cloth. Sedangkan Monang Naipospos adalah budayawan-Parmalim dari Hutatinggi Laguboti. Paparan Niessen dari awal menggambarkan pengamatan atas Hari Ulos dan membuat judul kecil tentang Hari Ulos, sukacita atau dukacita. Sedangkan Monang Naipospos menggambarkan ulos dari masa lalu, masa kini, dan masa mendatang.

Tentu saja kedua narasumber ini menyampaikan pemaparannya kepada banyak generasi muda di Aula STT HKBP Siantar, di samping untuk sejumlah pendeta dan fungsionaris kampus serta peserta dari luar yang mendaftar sebelumnya. Peserta seminar dianggap terbatas. Saya sengaja mendaftar sehari sebelumnya dan berangkat dari Medan melewati subuh, karena acara dimulai pada pukul 09.00 WIB. Dengan sedikit terlambat di tempat, dari jauh sudah kedengaran musik yang biasa mengiringi tarian di Hutatinggi Laguboti. Warnanya khas dibandingkan dengan ensambel gondang hasapi yang biasa terdengar di pesta-pesta adat. Di dalam, tarian dilakukan ibu-ibu Parmalim dari Pamatang Bandar, Simalungun. Tariannya diakui memang beda dan halus. Hadirin tertegun sampai tarian selesai, meskipun iringan musik seperti yang ada waktu perayaan di Medan dengan menggunakan playback.

Masih ada tempat duduk paling depan meskipun sedikit terlambat. Itu karena ada orang baik-baik kemanapun kita pergi. Tidak ada tempat duduk yang empuk kecuali dengan bangku panjang yang dapat menampung enam sampai tujuh orang. Karena masuk di antara tarian untuk pembukaan acara, acara salam-salaman hanya terbatas kepada yang paling dekat dan tidak mengganggu tarian. Tarian bagi konsep Batak Kuno adalah doa. Bahkan di Alkitab ada seruan agar kiranya dapat memuji Tuhan dengan musik dan tarian juga.

Betul. Acara baru dimulai. Ini pasti seru selain menarik. Protokoler dan moderator dilakukan oleh Pendeta Riris Johanna Siagian. Di jajaran tempat duduk paling depan ada juga pengusaha produk ulos atau motifnya. Ruangan berkapasitas kurang lebih 300 itu berisi semua. Yang terlambat seperti beberapa jurnalis dan fotografer berdiri saja.

Sandra Niessen didaulat pertama untuk menyampaikan paparannya. Menurutnya, tradisi tenun di Batak merosok karena berbagai hal; diantaranya karena penenun semakin sedikit, ketrampilannya jarang ditransfer kepada generasi berikut, akibat-akibat persaingan dengan ATBM semakin jelas, motif-motif semakin besar dan sederhana, tenun terlalu cepat – kurang bagus, selera seni tidak muncul lagi dalam kain, benang katun semakin jarang, jenis-jenis ulos semakin sedikit dan jenis sadum semakin dominan di mana-mana sampai tradisi-tradisi lokal tidak ada lagi. Satu hal lagi adalah karena penenun ikut desain yang laku dari sukubangsa lain di Indonesia dan tinggalkan tradisi sendiri.

Kemerosotan itu malah sudah pernah ditegaskan dengan pernyataan teman Sandra Niessen yang malahan melihat tradisi tenun batak telah punah. Sehingga sekarang masalah semakin tampak. Masalah itu seperti ingin diulangi ketika batik diakui UNESCO tradisi-tradisi kain yang lain di Indonesia menjadi jatuh. Lalu dengan hanya ulos Batak Toba dianggap akan berpengaruh kepada yang lain. Namun paradoks atau tidak Hari Ulos di Medan menggelar ulos sadum sepanjang 500 meter, meskipun ulos sepanjang itu tidak mungkin dihasilkan oleh alat tenun tradisi (gedhogan).

Menurut Niessen mestinya Hari Ulos juga difokuskan kepada para petenun. Harkat para petenunlah yang perlu diangkat saat ini. Miris juga ketika Perayaan Hari Ulos di Medan ada tempat untuk para petenun sebelum memasuki Convention Hall Hotel Danau Toba Internasional (HDTI). Namun para petenun menghentikan aktivitasnya di sana karena kepanasan, apalagi karena kipas angin dimatikan. Ada pameran puluhan ulos koleksi Torang Sitorus dan ada sejumlah stan menampilkan fisik ulos dan produk ikutannya tanpa menggiring ribuan yang hadir kepada peran penting para petenun. Para penenun tradisi, sesuai informasi Niessen, dapat menenun satu kain seminggu. Lalu pertanyaan Niessen dalam paparannya: apakah cocok kalau kita menggunakan produk ATBM untuk merayakan hari ulos?
Niessen selama tiga puluh tahun sudah banyak bertemu dengan para petenun tradisional. Mereka harus didukung kembali untuk meneruskan tradisi dan budaya ulos. Ada banyak petenun meninggal dengan penderitaannya dan tanpa meneruskan ilmu dan kemampuan kepada generasi berikut. Bahkan seorang penenun ulos untuk Paus yang pernah datang ke Sumatera Utara akhirnya tidak pernah dikenal. Kainnya dirayakan, penenun dilupakan. Faktor-faktor penenun mestinya dilibatkan untuk tujuan pengakuan 2014 tentang ulos Batak Toba itu. Ternyata sebaliknya atau harus diingatkan kepada para penyelengara berikutnya. Mungkin saat ini masih ada kekurangpahaman soal warisan tak benda ulos. Ditambah masalah-masalah lingkungan dan eksploitasi ekonomi yang memerangkap para petenun.

Sepertinya jalan keluar untuk menghargai para petenun perlu diciptakan Hari Tenun. Hari Ulos belum berhasil untuk tahun ini dan semangatnya dari tahun 2015 lalu menurun.

Ulos Batak Toba

Monang Naipospos kemudian memaparkan secara lisan dari apa yang sudah dibagikan dalam satu tulisan. Dengan banyaknya kajian dan para peneliti ulos ada harapan agar pemahaman yang menimbulkan kelucuan dan keliru jangan sampai konsumsi generasi muda. Beliau menjelaskan proses pembuatan ulos dari pembuatan benang sampai purna dengan sirat, hiasan pengikat rambu ulos. Menjadi seorang penenun juga ada prosesnya pembelajarannya, terutama di praktik menenun ulos yang sebenarnya. Penenun muda awalnya diberikan menenun parompa (kain gendongan anak) dan gobar (semacam selimut tidur). Namun untuk tidak salah informasi pada suatu saat ada satu jenis ulos khas Silalahi – Paropo bernama ulos Gobar, yang tidak bisa diartikan seperti gobar yang dibuat oleh para pemula. Pada selebar parompa itulah diberikan kesempatan bagi pemula untuk mencurahkan segala jenis motif.

“Karena pada umumnya badan ulos ini penuh dengan motif,” demikian dari Monang Naipospos, “tentu saja kelihatan indah namun bukan kategori “ulos namargoar” sehingga lajim disebut sekka”. Terkait sekka itu Monang Naipospos mengembangkan informasinya kepada satu lirik lagu tumba, semacam tarian cheerleaders Batak Toba dengan iringan lagu tanpa musik. Tumba juga dikenal sebagai kreasi baru pada awalnya dan sering dikaitkan oleh satu lagu populer dengan Pahae (Tapanuli Utara) sebagai tempat awal munculnya.

Pengguna, penggunaan, dan ragam ulos juga dipaparkan Monang Naipospos selanjutnya sambil membandingkan dengan catatan yang pernah dilakukan oleh Bilher Marpaung. Bilher Marpaung pernah menjelaskan uraian penggunaan ulos melalui nomenklatur Ulos Ragi Napitu. Sedangkan untuk ragam ulos dapat dibedakan untuk pengguna dewasa (pria dan wanita) serta pria muda dan wanita muda. Ulos dewasa pria dan pria muda kategorinya sudah tertentu untuk kepala, badan, dan disarungkan. Sedangkan untuk dewasa wanita dan wanita muda ditentukan untuk badan dan disarungkan. Contoh ulos yang jelas dapat digunakan pria dan wanita adalah jenis mangiring, sibolang, dan suri-suri. Berbagai jenis ulos lain jangan sampai keliru peruntukannya. Memang tidak ada sanksi atas kesalahan pakai ulos pria dan wanita. Begitu kata Monang Naipospos. Paling merasa malu kalau sudah tahu. Mungkin dipakai tapi masih keliru karena dorongan bangga!

Semua jenis ulos yang ditenun juga diharapkan jangan sampai diguntingi untuk kepentingan fashion dan kostum pertunjukan. Sebaiknya dipikirkan tekstil bermotif ulos yang bisa digunting-gunting untuk kepentingan seperti yang dimaksud. Begitulah yang tertangkap sebagai salah satu kesimpulan dari Seminar Ulos di STT HKBP Siantar, di samping sejumlah pertanyaan dari 7 penanggap sekitar Hari Ulos, pemahaman negatif tentang ulos, pemberian ulos kepada orang yang belum menikah, dalam kaitan fashion, peluang dari motif ulos ke tekstil, bahkan hampir berkait dalam perbedaan paham-paham kepercayaan di kalangan Batak saat ini.

Seminar ditutup dengan satu tarian lagi dan dilengkapi dengan doa cara setempat.

*Penulis merupakan Salah Satu Penerima Anugerah Kebudayaan 2016 dari Kemendikbud Republik Indonesia, Pencetus Toba Writers Forum, dan Direktur PLOt Siantar. Sehari-hari berprofesi sebagai penulis dan sutradara.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *